Sejarah Pendidikan Islam
|
Wahyudi Rifani S.Pd.I
|
TUGAS SEJARAH PERADABAN ISLAM
SA’ID BIN ZAID BIN AMR
Disusun oleh :
NAMA :
Muhammad Murjani
NPM :
13.12.3177
Lokal :
II A Sore
Semester :
2
|
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM
MARTAPURA
2013/2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadrat ALLAH
S.W.T dengan Taufik dan Hidayah nya Makalah ini dapat selesai sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Sholawat dan Salam tak lupa juga kami curahkan
kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad S.A.W, seluruh keluarga nya, para sahabat-sahabat
nya dan pengikut beliau hingga akhir zaman yang telah memberi syafaat kepada kita semua sehingga
kita bisa terbebas dari jurang kebodohan sehingga kita mengetahui dan menemukan
sumber hukum-hukum baru.
Pada kesempatan ini tak lupa kami ucapkan
terimakasih yang sebesar-besar nya keapada bapa Wahyudi Rifani, S.Pd.I
selaku Dosen mata Kuliah “SEJARAH & PERADABAN ISLAM” yang telah
membimbing kami dalam pembelajaran. Dan tak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada pihak-pihak lain yang turut serta dalam pembuatan Makalah ini.
Akhir
nya semoga ALLAH S.W.T memberikan curahan ilmu nya kepada kita semua dengan
mengamalkan apa yang diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang nya,
mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa memberi manfaat kepada kita semua
amin.
Atas
perhatian dan waktunya, saya sampaikan banyak terima kasih.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Martapura ,
11 Juni 2014
Penyusun
|
PEMBAHASAN
BIOGRAFI
Said bin Zaid
Said bin Zayd bin Amru
(Bahasa Arab سعيد بن زيد)
(wafat 51 H/671 M), adalah seorang sahabat asal Quraisy. Nama lengkapnya adalah
Said bin Zayd bin Amru bin Nufail Al Adawi, ia berkesempatan mengikuti semua
peperangan yang disertai Muhammad kecuali Perang Badar. Said termasuk sepuluh
orang yang dijanjikan masuk surga. Said ikut dalam penaklukan negeri Syam
(Suriah dan sekitarnya), kemudian meninggal di Madinah.
“Wahai Allah, jika
Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id
diharamkan pula daripadanya.” (Do’a Zaid untuk anaknya Sa’id)
ZAID
BIN ‘AMR BIN NUFAIL, (ayahada Said) berdiri dari orang banyak yang
berdesak-desak menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari
besar mereka.Kaum pria memakai serban Sundusi yang mahal, yang kelihatan
seperti kerudung Yaman yang lebih mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna manyala, dan mengenakan
perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam
perhiasan ditarik orang untuk disembelih di hadapan patung-patung yang mereka
sembah.
Zaid bersandar ke
dinding Ka’bah seraya berkata, “Hai kaum Quraisy! Hewan itu diciptakan oleh
Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum
sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan, supaya hewan-hewan itu
makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama-Nya. Sungguh bodoh
dan sesat kalian!”
Al Khatthab, ayah ‘Umar
bin Khatthab berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata Al Khatthab,
“Kurang ajar kau! Kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu. Namun
kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!” Kemudian dihasutnya
orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka
dengan sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota Makkah ke
bukit Hira’.
Al Khatthab menyerahkan
urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya masuk
kota. Karena itu Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi.
Kemudian
Zaid bin ‘Amr bin Nufail berkumpul — ketika orang-orang Quraisy lengah —
bersama-sama dengan Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, ‘Utsman bin
Harits, dan Umaimah binti ‘Abdul Muthalib bibi Nabi Muhammad Saw. Mereka berbicara mengenai kepercayaan masyarakat ‘Arab yang sudah jauh
tersesat. Kata Zaid, “Demi Allah! Sesungguhnya saudara-saudara sudah maklum
bangsa kita sudah tidak mempunyai agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng
dari agama Ibrahim yang lurus. Karena itu marilah kita pelajari suatu agama
yang dapat kita pegang jika saudara-saudara ingin beruntung.”
Keempat orang itu pergi
menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk
menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal
meyakini agama Nasrani. ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Harits tidak
menemukan apa-apa. Sedangkan Zaid bin ‘Amr bin Nufail mengalami kisah
tersendiri. Marilah kita dengar ceritanya.
Kata Zaid, “Saya
pelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi keduanya saya tinggalkan karena saya
tidak memperoleh sesuatu yang dapat menenteramkan hati saya dalam kedua agama
tersebut. Lalu saya berkelana ke seluruh pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika
saya sampai ke negeri Syam, saya diberitahu tentang seorang Rahib yang mengerti
Ilmu Kitab. Maka saya datangi Rahib tersebut, lalu saya ceritakan kepadanya pengalaman
saya belajar agama.
Kata Rahib tersebut,
“Saya tahu anda sedang mencari agama Ibrahim, hai putera Makkah.”
Jawabku, “Betul, itulah yang
saya inginkan!” Kata Rahib, “Anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi
ditemukan. Tetapi pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan
seorang Nabi di tengah-tengah bangsa Anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim.
Bila Anda bertemu dengan dia, tetaplah Anda bersamanya.”
Zaid berhenti
berkelana. Dia kembali ke Makkah menunggu Nabi yang dijanjikan. Ketika Zaid
sedang dalam perjalanan pulang, Allah mengutus Muhammad menjadi Rasul dengan
agama yang hak. Tetapi Zaid belum sempat bertemu dengan beliau, dia dihadang
perompak-perompak Badui di tengah jalan, dan terbunuh sebelum ia sampai kembali
ke Makkah. Waktu dia akan menghembuskan nafas yang terakhir, Zaid menengadah ke
langit dan berkata, “Wahai Allah! Jika Engkau mengharamkanku dari agama lurus
ini, maka janganlah anakku Sa ‘id diharamkan pula daripadanya.”
SA’ID BIN ZAID
Allah
memperkenankan do’a Zaid. Serentak Rasulullah mengajak orang banyak masuk
Islam, Sa’id segera memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang yang
beriman dengan Allah dan membenarkan kerasulan Nabi-Nya, Muhammad saw.
Tidak
mengherankan kalau Sa’id secepat itu memperkenankan seruan Muhammad. Sa’id lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan
mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat itu.
Sa’id dididik dalam kamar seorang ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari
agama yang hak. Bahkan dia mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama
yang hak.
Sa’id masuk Islam tidak
seorang diri. Dia Islam bersama-sama isterinya, Fathimah binti Al Khatthab,
adik perempuan ‘Umar bin Khatthab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia
disakiti dan diani’aya, dipaksa oleh kaumnya supaya kembali kepada agama
mereka. Tetapi jangankan orang Quraisy berhasil mengembalikan Sa’id suami
isteri kepada kepercayaan nenek moyang mereka, sebaliknya Sa’id dan isterinya
sanggup menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot baik pisik
maupun intelektualnya masuk ke dalam Islam. Mereka berdualah yang telah
menyebabkan ‘Umar bin Khatthab masuk Islam.
Sa’id bin Zaid bin ‘Amr
bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya yang muda untuk berkhidmat
kepada Islam. Ketika dia masuk Islam umurnya belum lebih dari dua puluh tahun.
Dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam setiap peperangan, selain
peperangan Badar. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu tugas penting
lainnya yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil bagian
bersama-sama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan
ke Kaisaran Rum. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin dia selalu
memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji. Agakanya yang paling
mengejutkan ialah reputasinya yang tercatat dalam peperangan Yarmuk. Marilah
kita dengarkan sedikit kisahnya pada hari itu.
Berkata Sa’id bin Zaid
bin ‘Amr bin Nufail, “Ketika terjadi perang Yarmuk, pasukan kami semuanya
berjumlah 24.000 orang tentara. Sedangkan tentara Rum yang kami hadapi
berjumlah 120.000 tentara. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah
yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi. Di
muka sekali berbaris Pendeta-pendeta, Perwira-perwira tinggi/panglima-panglima,
dan Paderi-paderi yang membawa kayu salib sambil mengeraskan suara membaca
do’a. Do’a itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris di belakang mereka
dengan suaru mengguntur.
Tatkala tentara kaum
muslimin melihat musuh mereka seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu
timbul takut di hati mereka. Abu ‘Ubaidah bangkit mengobarkan semangat jihad
kepada mereka. Kata Abu ‘Ubaidah dalam pidatonya antara lain, “Wahai
hamba-hamba Allah! Menangkan agama Allah! Pasti Allah akan menolong kamu, dan
memberikan kekuatan kepada kamu!
“Wahai hamba-hamba
Allah! Tabahkan hati kalian! Karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran;
jalan mencapai keridhaan Allah, dan menolak kehinaan.
“Siapkan lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam! Kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dalam hati kalian masing-masing.
“Siapkan lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam! Kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dalam hati kalian masing-masing.
“Tunggu perintah saya
selanjutnya! Insya Allah!” Kemudian Sa’id melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba seorang prajurit muslim
keluar dari barisan dan berkata kepada Abu ‘Ubaidah, “Saya ingin syahid
sekarang. Adakah pesan-pesan Anda kepada Rasulullah?”
Jawab Abu ‘Ubaidah,
“Ya, ada! Sampaikan salam saya dan salam kaum muslimin kepada beliau. Katakan
kepada beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan
kami benar-benar terbukti!” Sesudah dia mengucapkan kata-katanya itu, saya lihat dia menghunus
pedang dan terus maju menyerang musuh-musuh Allah. Saya membanting diri ke
tanah, dan berdiri di atas lutut saya. Saya bidikkan lembing saya, lalu saya
tikam seorang melompat menghadang musuh. Tanpa terasa, perasaan takut lenyap
dengan sendirinya di hati saya. Tentara muslimin bangkit menyerbu tentara Rum.
Perang berkecamuk segera berkobar dengan hebat. Akhirnya Allah memenangkan kaum
muslimin.
Sa’id bin menjadi wali kota Damsyiq
Sesudah itu Sa’id bin
Zaid turut berperang menaklukkan Damsyiq. Setelah kaum muslimin memperlihatkan
kepatuhan, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id menjadi Wali di sana.
Dialah Wali Kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.
Di masa pemerintahan
Bani Umaiyah, Sa’id bin Zaid dituduh merampas tanahnya yang saling berbatasan.
Tuduhan tersebut digunjingkannya kepada kaum muslimin. Kemudian dia mengadu
kepada Marwan bin Hakam Wali Kota Madinah ketika itu.
Marwan mengirim
beberapa petugas menanyakan kepada Sa’id tentang tuduhan wanita tersebut.
Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya.
Kata Sa’id, “Dia menuduh saya menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatas
dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah
mendengar Rasulullah bersabda: ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walaupun
sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi
kepadanya.’ Wahai Allah! Dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhannya
itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang
dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin
sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah
menzaliminya.”
Tidak berapa lama
kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka
terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan.
Kaum muslimin memperoleh bukti, Sa’idlah yang benar, sedangkan tuduhan wanita
itu palsu. Hanya sebulan antaranya sesudah itu, wanita tersebut menjadi buta.
Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun
jatuh ke dalam sumur.
Kata ‘Abdullah bin
Umar, “Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata bila
mengutuk orang lain, ‘Dibutakan Allah kamu seperti Arwa.” Peristiwa itu
sesungguhnya tidak begitu mengherankan. Karena Rasulullah pernah bersabda:
“Takutilah do’a orang teraniaya. Karena antara dia dengan Allah tidak ada
batas.”
Sa’id
adalah sahabat yang sangat terkenal dikalangan manusia, beliau mencintai mereka
dan merekapun mencintainya, dan saat terjadi fitnah dikalangan umat Islam
beliau tidak ikut di dalamnya, beliau sangat tekun dalam ketaatan kepada Allah
dan beribadah kepada-Nya hingga akhir wafatnya pada tahun 51/52 Hijriyah dan
dikuburkan di Madinah Al-Munawwarah.
Sedikit Kisah Dari Sa’id Bin Zaid Ra
“Wahai Allah jika
Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id
diharamkan pula daripadanya.” (Do’a Zaid untuk anaknya, Sa’id).
Zaid bin Amr bin Nufail
berdiri di tengah-tengah orang banyak yang berdesak-desakan menyaksikan kaum
Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka. Kaum pria memakai
serban sundusi yang mahal, yang kelihatan seperti kerudung Yaman yang lebih
mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna menyala dan mengenakan
perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam
perhiasan dan ditarik orang-orang untuk disembelih di hadapan patung-patung
yang mereka sembah.
Zaid bersandar ke dinding
Ka'bah seraya berkata, "Hai kaum Quraisy, hewan itu diciptakan Allah.
Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum
sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan-hewan itu
makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian, kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa
menyebut nama Allah. Sungguh bodoh dan sesat kalian."
Al-Khattab, ayah Umar
bin Khattab, berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata Al-Khattab, "Kurang
ajar kau! kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu, namun kami
biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!" Kemudian, dihasutnya
orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka
dengan sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota Mekah ke
Bukit Hira.
Al-Khattab menyerahkan
urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya masuk
kota. Karena itu, Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi.
Kemudian, Zaid bin Amr
bin Nufail berkumpul ketika orang-orang Quraisy lengah bersama-sama dengan
Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Utsman bin Harits, dan Umaimah binti
Abdul Muthallib, bibi Muhammad saw. Mereka berbicara tentang kepercayaan
masyarakat Arab yang sudah jauh tersesat. Kata Zaid, "Demi Allah!
sesungguhnya saudara-saudara sudah maklum bahwa bangsa kita sudah tidak
memiliki agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang
lurus. Karena itu, marilah kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang
jika saudara-saudara ingin beruntung."
Keempat orang itu pergi
menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk
menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Kemudian Waraqah bin
Naufal meyakini agama Nasrani, Abdullah bin Jahsy dan Utsman bin Harits tidak
menemukan apa-apa.
Sementara, Zaid bin Amr
bin Nufail mengalami kisah tersendiri. Kata Zaid, "Saya pelajari agama
Yahudi dan Nasrani. Tetapi, keduanya saya tinggalkan karena saya tidak
memperoleh sesuatau yang dapat menenteramkan hati saya dalam kedua agama tersebut.
Lalu, saya berkelana ke seluruh pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika saya
sampai ke negeri Syam, saya diberitahu tentang seorang Rahib yang mengerti ilmu
kitab. Maka, saya datangi Rahib tersebut, lalu saya ceritakan kepadanya tentang
pengalaman saya belajar agama."
Kata Rahib tersebut, "Saya
tahu Anda sedang mencari agama Ibrahim, hai putra Mekah?" Jawabku,
"Betul, itulah yang saya inginkan." Kata Rahib, "Anda
mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi,
pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan seorang nabi di
tengah-tengah bangsa Anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda bertemu
dengan dia, tetaplah Anda bersamanya."
Zaid berhenti
berkelana. Dia kembali ke Mekah menunggu nabi yang dijanjikan. Ketika Zaid
sedang dalam perjalanan pulang. Allah mengutus Muhammad menjadi nabi dan rasul
dengan agama yang hak. Tetapi, Zaid belum sempat bertemu dengan beliau, dia
dihadang perampok-perampok Badui di tengah jalan dan terbunuh sebelum ia
kembali ke Mekah. Waktu dia akan menghembuskan napasnya yang terakhir, Zaid
menengadah ke langit dan berkata, "Wahai Allah, jika Engkau
mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan
pula daripadanya."
Allah memperkanankan
doa Zaid. Serentak Rasulullah mengajak orang banyak masuk Islam, Sa’id segera
memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang beriman dengan Allah dan
membenarkan kerasulan Nabi Muhammad saw.
Tidak mengherankan
kalau Sa’id secepat itu memperkenankan seruan Muhammad. Sa’id lahir dan
dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat
istiadat orang-orang Quraisy yang sesat itu. Sa’id dididik dalam kamar seorang
ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari agama yang hak. Bahkan, dia mati
ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yang hak.
Sa’id masuk Islam tidak
seorang diri. Dia masuk Islam bersama-sama istrinya, Fathimah binti al-Khattab,
adik perempuan Umar bin Khattab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia
disakiti dan dianiaya, dipaksa kaumnya supaya kembali kepada agama mereka.
Usaha mereka tidak berhasil. Bahkan sebaliknya, Sa’id dan istrinya sanggup
menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot, baik fisik maupun
intelektualnya dalam Islam. Mereka berdualah yang telah menyebabkan ‘Umar bin
Khattab masuk Islam.
Sa’id bin Zaid bin Amr
bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya yang muda untuk berkhidmat
kepada Islam. Ketika masuk Islam umurnya belum lebih dari dua puluh tahun. Dia
turut berperang bersama Rasulullah dalam setiap peperangan, selain peperangan
Badar. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu tugas penting lainnya yang
ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil bagian bersama kaum
muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan kekaisaran Rum.
Dalam setiap peperangan
yang dihadapi kaum muslimin, dia selalu memperlihatkan penampilan dengan
reputasi terpuji. Agaknya yang paling mengejutkan ialah reputasinya yang
tercatat dalam peperangan Yarmuk. Marilah kita dengarkan sedikit kisahnya pada
hari itu.
Berkata Sa’id bin Zaid
bin Amr bin Nufail, "Ketika terjadi perang Yarmuk, pasukan kami hanya
berjumlah 24.000 orang, sedangkan tentara Rum berjumlah 120.000 orang. Musuh
bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap bagaikan sebuah bukit
yang digerakkan tangah-tangan tersembunyi. Di muka sekali berbaris
pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi dan paderi-paderi yang membawa kayu
salib sambil mengeraskan suara membaca doa. Doa itu diulang-ulang oleh tentara
yang berbaris di belakang mereka dengan suara mengguntur."
Tatkala tentara kaum
muslimin melihat musuhnya seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul
rasa takut di hati mereka. Abu Ubaidah bangkit mengobarkan semangat jihad
kepada mereka. Kata Abu Ubaidah dalam pidatonya, antara lain, "Wahai
hamba-hamba Allah, menangkan agama Allah, pasti Allah akan menolong kamu dan
memberikan kekuatan kepada kamu!” "Wahai hamba-hamba Allah! tabahkan hati
kalian, karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran, jalan mencapai
keridaan Allah dan menolak kehinaan." "Siapkan lembing dan perisai!
tetaplah tenang dan diam, kecuali mengingat Allah dalam hati kalian
masing-masing. Tunggu perintah saya selanjutnya, insya Allah!"
Kemudian, Sa’id
melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba seorang prajurit muslim keluar dari barisan
dan berkata kepada Abu Ubaidah, "Saya ingin syahid sekarang, adakah
pesan-pesan Anda kepada Rasulullah?"
Jawab Abu Ubaidah, "Ya,
ada! Sampaikanlah salam saya dan kaum muslimin kepada beliau. Katakan kepada
beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan
kami".
Setelah mengucapkan
kata-kata itu, saya lihat dia menghunus pedang dan terus maju menyerang
musuh-musuh Allah. Saya membanting diri ke tanah, dan berdiri di atas lutut
saya. Saya bidikkan lembing saya, lalu saya melompat menghadang musuh. Tanpa
terasa perasaan takut lenyap dengan sendirinya di hati saya. Tentara muslimin
bangkit menyerbu tentara Rum. Akhirnya Allah memenangkan kaum muslimin.
Sesudah itu Sa’id bin
Zaid turut berperang menaklukan Damsyiq. Setelah kaum muslimin memperlihatkan
kepatuhan, Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id bin Zaid menjadi wali di
sana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.
Dalam masa pemerintahan
Bani Umayah, merebak suatu isu dalam waktu yang lama di kalangan penduduk
Yatsrib terhadap Sa’id bin Zaid. Yakni, seorang wanita bernama Arwa binti uwais
menuduh Sa’id bin Zaid telah merampas tanahnya dan menggabungkannya dengan
tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan tuduhannya itu ke seantero kaum
muslimin, dan kemudian mengadukan perkaranya kepada Wali Kota Madinah, Marwan
bin Hakam. Marwan mengirim beberapa petugas kepada Sa’id untuk menanyakan
perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas
fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.
Kata Sa’id, "Dia
menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanah saya).
Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda, "Siapa saja yang mengambil tanah orang lain walaupun
sejengkal, nanti di hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.
Wahai Allah! dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu,
butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya dengan
saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah
hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya."
Tidak berapa lama
kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya.
Maka, terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka
perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Sa’idlah yang benar, sedangkan
tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan sesudah itu, wanita tersebut menjadi
buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia
pun jatuh ke dalam sumur.
Kata Abdullah bin Umar,
"Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata
bila mengutuk orang lain, Dibutakan mata kamu seperti Arwa."
Peristiwa itu sesungguhnya tidak begitu mengherankan.
Karena, Rasulullah saw. bersabda, "Takutilah doa orang teraniaya.
Karena, antara dia dengan Allah tidak ada batas." Maka, apalagi kalau
yang teraniaya itu salah seorang dari sepuluh sahabat Rasulullah saw. yang
telah dijamin masuk surga, Sa’id bin Zaid, tentu lebih diperhatikan oleh Allah
SWT.
DAFTAR PUSTAKA