MATA KULIAH
DOSEN PEMBIMBING
FILSAFAT PENDIDIKAN DRS. H. AHMAD AINANI ASWAD,
M. AG
MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN
ANALISIS DONGENG PENDIDIKAN
OLEH :
AHMAD ATHOILLAH
NPM : 13.12.3153
FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM MARTAPURA
1435 H / 2014 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, limpahan puja-puji hanyalah
milik Allah, yang telah melimpahkan segala ni’mat-Nya lahir dan batin kepada
kita, khususnya Iman dan Islam, sehingga kita dapat terus berusaha memperbaiki diri
dengan mengambil hikmah dari apa saja yang terjadi di dunia ini.
Sholawat dan salam tidak lupa selalu kita
haturkan keharibaan Junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang diantara sabda
beliau “Hikmah itu adalah barang tercecer milik orang beriman, maka di mana
saja ia menemukannya ia lah yang paling berhak mengambilnya.”
Dengan mengucapkan rasa
syukur kepada Allah SWT tugas makalah ini telah dapat kami selesaikan, dengan
tema yang telah ditentukan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Ainani Aswad sebagai
Dosen Pembimbing mata kuliah Filsafat Pendidikan,
atas bimbingannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu
Terima kasih pula kami
ucapkan kepada rekan-rekan lokal A Tarbiyah, atas segala bantuannya.
Kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari sempurna, dan penuh dengan kekurangan, mudah-mudahan bisa
lebih disempurnakan lagi di masa-masa mendatang.
Akhirnya semoga pekerjaan kita ini diberi pahala oleh Allah SWT.
Amiin.
Martapura, April 2014
Penyusun
Ahmad Athoillah
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Bercerita adalah salah satu metode
pendidikan yang efektif untuk anak-anak, karena dengan mendengar cerita fikiran
mereka yang polos akan terbawa di alur cerita, walau pun cerita yang dibawakan
cuma dongeng. Cerita perlu disisipkan di
sela-sela proses pembelajaran, selain untuk mengendurkan urat syaraf yang mulai
menegang, cerita yang sesuai juga lebih cepat membantu pemahaman dalam
pelajaran, yang terkadang susah dijelaskan dengan kalimat formal, tetapi sangat
mudah dipaham dengan tamsil dan cerita diantaranya dengan dongeng-dongeng. Oleh karena itu kita perlu mempunyai bahan
cerita yang bagus dan perbendaharaan kisah yang sarat dengan makna tersurat
maupun tersirat.
Begitu banyak cerita atau pun
dongeng yang tersebar di berbagai buku, majalah, koran, tabloid, dan
sumber-sumber bacaan lainnya baik yang berbentuk cetak/buku maupun di blog-blog
dan website di internet. Setelah mencari-cari dongeng yang bagus di beberapa
buku dan searching di mbah Google, akhirnya penulis memilih tiga dongeng, yang
terasa pantas untuk dimuat di makalah ini, untuk memenuhi tugas analisis
dongeng di mata kuliah Filsafat Pendidikan.
B.
RUMUSAN MASALAH
C.
TUJUAN PENULISAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelinci dan Kura-Kura
1.
Sinopsis
Kelinci dan Kura-Kura
Hari itu cerah sekali, tetapi
binatang-binatang di dalam hutan tidak memperhatikan cuaca yang indah itu.
Mereka sedang mempertengkarkan siapa yang dapat berlari paling cepat. Seperti
biasa, Kelinci lalu membual. "Sampai saat ini, akulah pelari yang paling
cepat ! Aku akan berlomba dengan kalian. Hadiahnya adalah kancing emas ini.
" Tupai, maukah kamu berlomba denganku ?"
"Sudah pasti tidak,
Kelinci," kata Tupai dengan geli. " Kaki-kakimu terlalu panjang
untukku !"
"Serigala, apakah kau ingin
berlomba denganku ?" Serigala menggelengkan kepalanya.
"Jadi tidak ada yang berani
berlomba denganku ? Cerpelai ? Landak ? ........Tak ada satupun yang mau
?"
Untuk sesaat semuanya diam,
kemudian sebuah suara yang lembut berkata, "Kalau kau mau, aku akan
mencobanya !"
Kelinci melihat berkeliling,
mencari-cari asal suara itu lalu ia melihat Kura-kura merayap perlahan-lahan
menyeberangi lapangan di tepi hutan. Kelinci merasa geli tapi ia mencoba tetap
serius ketika menjawab Kura-kura.
"Ah, Kura-kura temanku yang
baik ! Akhirnya kau bergabung juga dengan kami !"
"Aku tak punya alasan untuk
terburu-buru," jawab Kura-kura. "Lagipula, hari ini indah
sekali."
Kelinci menunjukkan kepadanya
kancing yang berkilauan ditimpa sinar matahari itu.
"Kelihatannya, kaulah
satu-satunya penantangku, Kura-kura. Apakah kau mau berlomba denganku ke
jembatan batu di seberang hutan sana ? Kau harus mengakui bahwa hadiahnya bagus
sekali !"
"Hadiahnya sangat bagus,
Kelinci; benar-benar sangat bagus. Dan bagiku berlomba ke jembatan di seberang
hutan itu cukup layak. Ya, Kelinci, aku akan berlomba denganmu," Kura-kura
menjawab perlahan-lahan dan hati-hati.
Kelinci tertawa terbahak-bahak.
"Si Lambat, kamu tidak serius bukan ! Kamu tak mungkin menang jika
berlomba denganku ! Kamu pasti bergurau !"
Binatang-binatang lain ikut
tertawa.
Kura-kura menggelengkan kepalanya
pelan-pelan. "Aku tidak bergurau, sungguh!" Kura-kura meyakinkan
mereka semua. "Sekarang, siapa yang akan memberi aba-aba untuk berangkat
?"
Kelinci masih tertawa ketika
mereka berdua berdiri sejajar dan menunggu aba-aba dari Burung Hantu.
"Tu-whit tu-whoo!"
"Baru saja suara
"tu-whoo" keluar dari paruh Burang Hantu ketika Kelinci melesat
seperti angin melewati pohon-pohon. Kura-kura masih merayap ke tepi hutan,
tetapi kelinci sudah tidak kelihatan lagi.
"Ayo, Kura-kura !"
binatang-binatang lain bersorak memberi semangat sambil tertawa.
"Dapatkah kamu berjalan lebih
cepat lagi?"
"Aku heran mengapa kau mau
berlomba, Kura-kura!" kata Cerpelai. "Semua binatang tahu bahwa
Kelincilah yang akan menang!"
Kura-kura tidak senang mendengar
olok-olokan itu, tetapi ia tidak mau memperlihatkan bahwa perasaannya terluka.
Bahkan ia terus merayap, sambil terus menerus berkata kepada dirinya sendiri :
"Lambat tapi mantap akan
memenangkan perlombaan, lambat tapi mantap...."
Dengan gesit Kelinci berlari
melewati pohon-pohon, melompati tunggul-tunggul kayu, menyelinap di antara tanaman-tanaman
perdu. Sesudah beberapa saat ia berhenti sebentar dan mendengarkan. Tak ada
suara apapun yang mengikutinya. Ia melihat berkeliling.
Tak ada tanda-tanda dari si
Kura-kura. Kelinci tertawa sendiri. Ia telah berlari jauh melampaui Kura-kura.
Dengan malas ia berjalan beberapa langkah lagi kemudian berhenti. Sekarang ia
sudah berada jauh di ujung hutan, dan jembatan batu tua yang menjadi sasaran
lomba sudah terlihat, tak jauh dari situ.
Tapi sayang, di situ tak ada
seekor binatangpun yang menyaksikan Kelinci meraih kemenangannya. Kelinci, yang
suka berlagak, tidak puas kalau tak ada satupun yang mengelu-elukan
kemenangannya. Maka diputuskannya untuk menunggu sebentar sampai ada binatang
lain yang hadir di situ. Sambil menunggu iapun berbaring di bawah pohon.
Pikirnya, jika nanti beberapa binatang sudah berkumpul ia akan melanjutkan lari
ke jembatana itu dan meraih kemenangannya.
Tapi hari sangat panas, Kelinci
harus memejamkan matanya untuk menghindari cahaya matahari yang menyilaukan.
Dan tempat itu sangat nyaman untuk beristirahat.................
Kelinci pun tertidur.
Sore hari barulah Kelinci
terbangun. Matahari sudah tidak terlalu panas lagi. Cahayanya mulai meredup di
balik pohon-pohon. Kelinci dapat merasakan angin senja yang dingin mulai bertiup.
Ketika ia bangun, didengarnya
suara binatang-binatang lain, mendengus dan mencicit dengan gembira.
"Astaga ! Mereka sudah ada di sini untuk menyaksikan kemenanganku !"
pikirnya.
"Kura-kura yang malang. Ia
pasti masih tertinggal jauh di belakang!"
Kelinci meregangkan tubuhnya,
kemudian siap berlari lagi. Kelinci tidak tahu, bahwa selama ia tidur pulas,
dengan susah payah tapi mantap. Kura-kura terus berjalan menyeberangi hutan.
Dan Kelinci telah tertidur lama
sekali, cukup lama, sehingga Kura-kura dapat dengan
perlahan-lahan tapi pasti
melampauinya. Kelinci tidak menyadari bahwa binatang-binatang lain sedang
mengelu-elukan Kura-kura dan bukan dia. Kelinci tidak tahu bahwa sekarang
Kura-kura tinggal beberapa langkah lagi saja dari jembatan batu tua itu.....
Tiba-tiba, Kelinci melihat
Kura-kura. Dengan terkejut disadarinya apa yang telah terjadi.
Ia tak percaya telah berbuat
bodoh. Tapi hal itu adalah kenyataan. Sekarang, meskipun ia berlari
sekencang-kencangnya, tak mungkin lagi baginya melampaui Kura-kura! Semua
binatang telah hadir di situ untuk menyaksikan Kura-kura memenangkan perlombaan
!
Dengan susah payah, Kura-kura yang
lembut sambil tersenyum berjalan dua langkah terakhir ke jembatan batu. Ia
telah menang. Ia sangat, sangat lelah dan kepanasan, tetapi sedikitpun tidak
dipedulikannya. Ia telah menaklukkan Kelinci yang suka membual itu!
Binatang-binatang yang lain bersorak-sorak.
"Hidup Kura-kura! Bagus!
Kamulah pemenangnya !"
Suara-suara itu terdengar bagaikan
musik di telinga Kura-kura yang sedang terengah-engah kepayahan.
Dengan tidak menghiraukan
kelelahannya, Kura-kura melangkah lagi ke atas jembatan lalu berdiri di situ,
berseri-seri dan bangga dan dengan malu-malu melambai-lambai kepada kerumunan
binatang-binatang itu. Inilah salah satu yang paling berbahagia dalam hidupnya.
Kelinci yang malang dan bodoh !
Alangkah malunya ia mengingat bahwa setiap binatang memperhatikannya sedang
tidur ketika dilalui Kura-kura!
Alangkah malunya karena ia telah
dikalahkan oleh Kura-kura! Alangkah menyesalnya ia telah membual dan besar
kepala !
"Di sinilah engkau,
Kura-kura. Inilah kancing emas hadiahnya," katanya pelan dengan telinga
terkulai. " Dan selamat !"
Binatang-binatang lain tertawa
terbahak-bahak.
"Tidak apa-apa,
Kelinci," kata Kura-kura dengan ramah, "Simpanlah lagi kancing itu.
Aku senang sekali hari ini. Tapi ingatlah selalu; lambat tapi mantap akan
memenangkan perlombaan, lambat tapi mantap.............."
2.
Analisis
a) Tema
Kesombongan dan keangkuhan akan dikalahkan kesabaran dan
kesungguhan
b) Penokohan
Kelinci : seseorang yang angkuh dan sombong
Kura-kura : seseorang yang tidak pantang menyerah dengan keadaan
c) Amanat
Janganlah menyombongkan kemampuan
diri karena setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan
d) Latar
Hutan
e) Sudut Pandang
Orang ketiga pelaku
sampingan
f) Unsur Ekstrinsik
Norma-norma :
norma sosial: Hendaknya saling menghormati
sesama manusia, dan jangan menyombongkan kemampuan diri sendiri
B.
Sang Bangau dan Kera
1.
Sinopsis
Sang Bangau dan
Kera
Sang Bangau punya kaki dan leher yang
panjang. Sayapnya kuat dan lebar sehingga ia mampu terbang tinggi dan jauh.
Makanan kesukaannya adalah kodok. Selain itu ia suka belalang, ulat pohon, dan bekicot.
Sang bangau bersahabat dengan sang kera. Sang bangau sering membantu mencari kutu
sang kera. Jika bepergian jauh, sang bangau biasanya menerbangkan sang kera.
Akan tetapi, sang kera yang licik dan khianat selalu ingin enaknya saja.
Pernah sang kera minta tolong sang bangau
untuk menangkap ikan di sebuah kolam. Sementara sang bangau
bekerja, sang kera makan sampai kenyang. Setelah selesai, sang bangau hanya
mendapat bagian sedikit, karena sebagian telah disembunyikan terlebih dulu oleh
sang kera. Atas perlakuan yang demikian, sang bangau sudah tentu sakit hati.
Namun tidak sampai memutuskan hubungan. Mereka tampak rukun-rukun saja. Sampai
pada suatu hari sang kera ingin menipu sang bangau lagi. Sang kera ingin pergi
ke Pulau Medang yang terkenal buah sawonya. Tetapi
bagaimana caranya untuk bisa ke sana karena kera yakin tidak ada satu pun dari
temannya yang mau meminjamkan perahu kepadanya. Satu-satunya harapan adalah
sang bangau. Ia mencari akal bagaimana agar sang bangau mau menerbangkannya ke
Pulau Medang.
Pada saat kelaparan melanda warga bangau,
diajaklah sang bangau pergi ke Pulau Medang. Sang kera bercerita bahwa di Pulau
Medang pasti terdapat kodok yang banyak, karena pulau itu tidak berpenghuni.
Tanpa curiga sedikit pun, sang bangau tidak menolak tawaran sang kera. Maka,
ditentukanlah hari keberangkatan mereka. Keduanya berangkat dengan penuh
harapan memperoleh kehidupan yang layak di pulau seberang. “Bangau sahabatku,”
kata sang kera. “Sesampai di Medang nanti saya akan membuat perahu dari tanah
liat”. “Apakah kera sekarang sudah begitu pandai sehingga bisa membikin
perahu?” tanya sang bangau dengan nada tak percaya.
“Sudah lama saya pergi ke negeri orang-orang
pandai belajar membuat perahu. Sekarang saya baru bisa membuat perahu dari
tanah liat”, jawab sang kera. “Yang Penting, sang bangau harus membantu saya
mengumpulkan tanah liatnya,” lanjut sang kera.
Sesuai dengan kesepakatan, pada suatu hari
sang bangau berangkat menerbangkan sang kera menuju Medang pulau harapan.
Setelah beberapa saat terbang, tampaklah dari kejauhan Pulau Medang yang
menghijau. Di atas punggung sang bangau, sang kera telah membayangkan buah-buah
sawo yang harum baunya dan manis rasanya. Sang kera menyuruh sang bangau
terbang lebih cepat. Namun, apa daya. Sang bangau kecapaian, tidak mampu
terbang lebih cepat lagi. Apalagi sang kera terus-menerus mengajak
bercakap-cakap sambil duduk enak di atas punggung sang bangau. Dengan sisa
tenaga yang ada, akhirnya mereka sampai ke Pulau Medang. Dengan napas
terengah-engah sang bangau mendarat dengan selamat. Mereka beristirahat
sebentar menikmati pemandangan indah di pulau yang sunyi itu.
Sementara sang bangau masih kelelahan setelah
terbang dengan beban tubuh sang kera yang berat. Sang kera sudah berada di atas
pohon sawo dengan wajah berseri. Ia melompat dari pohon sawo yang satu ke pohon
sawo yang lain. Mulutnya mengunyah buah-buah sawo yang masak tanpa berhenti.
Kodok yang diperkirakan melimpah ruah tidak ada seekor pun. Terpaksa sang
bangau hanya berbaring melepaskan lelah. Sesekali, ia menangkap kepiting kecil
yang lewat di dekatnya. Namun, karena sang bangau tidak biasa makan kepiting,
perutnya terasa agak mual. Sementara itu, sang kera telah tertidur di atas
pohon. Perutnya tampak membiru tanda kekenyangan.
Setelah sang kera bangun, berkatalah sang
bangau, “Sang kera, Anda telah kenyang di sini. Makanan berlimpah. Kodok dan
belalang yang Anda janjikan tidak ada di sini. Oleh karena itu, saya tidak
mungkin tingggal di sini. Saya akan kembali ke kampung halamanku. Dengan buah
sawo yang berlimpah di sini, anda bisa hidup tujuh turunan. Oleh karena itu,
besok saya akan pulang. Saya akan menceriterakan kepada warga kera tentang hutan sawo mu.
“Jangan begitu,” kata sang kera. “Mana mungkin
saya hidup sendirian di sini.”
“Tetapi saya tidak mungkin hidup di daerah
tanpa kodok seperti ini,” jawab sang bangau agak jengkel.
“Kalau begitu baiklah. Mari terbangkan saya
pulang ke kampung bersamamu,” ujar sang kera. “Maaf sang kera, sayapku belum
begitu pulih untuk bisa terbang dengan beban tubuhmu. Jangankan terbang dengan
sang kera. Terbang sendiri pun belum tentu kuat.”
“Kalau begitu kita tunggu saja sampai Anda
pulih kembali kekuatannya.” Sang bangau menjawab, “Mana mungkin aku harus
menunggu. Apa yang harus saya makan? Apa saya harus mati kelaparan di sini
sementara kamu punya buah sawo yang berlimpah? Saya kira kamu dapat pulang
sendiri dengan perahu. Kamu dapat membuat perahu kan.”
Sang kera tertunduk malu. la ingat akan
kebohongannya. Sebenarnya ia hanya punya sedikit keahlian membuat perahu.
Namun, karena malunya kepada sang bangau, ia berkata, “Kalau begitu bantulah
saya mencari tanah liat. Nanti saya yang menempanya.”
Singkat cerita, perahu itu sudah jadi. Mereka mendorong ke
tengah lautan, dan berangkatlah mereka berdua. Sang kera naik perahu dengan
perasaan takut sekali.
Sesekali, perahu itu diterjang ombak. Wajah
sang kera menjadi pucat. Sebaliknya, sang bangau selalu bernyanyi: “Curcur
humat, curcur hurnat, bila hancur saya selamat, bila hancur saya selamat.”
Tentu saja sang bangau dapat terbang jika
perahu itu hancur diterpa ombak. Kemungkinan untuk hancur memang ada, karena
perahu itu hanya dibuat dari tanah liat oleh kera yang tidak ahli.
Sementara itu, mereka telah berlayar jauh ke
tengah lautan. Pulau Sumbawa sebagai
kampung halamannya telah tampak dari kejauhan. Tiba-tiba badai bertiup dengan
kencang. Hujan pun turun dengan lebat. Ombak lautan bergulung-gulung menerpa
perahu mereka. Dalam waktu yang singkat, perahu itu pecah berantakan. Sang
bangau segera terbang, sedangkan sang kera dengan susah payah mencoba berenang.
Namun, tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan derasnya arus dan besarnya
gelombang lautan yang kian mengganas. Akhirnya, sang kera mati ditelan ombak
lautan.
2.
Analisis
a)
Tema
Kesetiaan dan penghianatan
terhadap teman
b)
Penokohan
Sang bangau : seseorang yang setia dan
peduli terhadap teman walaupun ia tahu temannya itu tidak baik
Kera : seseorang yang egois, tidak peduli perasaan dan apa
yang dirasakan teman sendiri
c)
Amanat
Janganlah bersifat egois
mementingkan diri sendiri
d)
Latar
Hutan, pantai, lautan
e)
Sudut Pandang
Orang ketiga pelaku sampingan
f)
Unsur Ekstrinsik
Norma-norma :
norma sosial : Hendaknya kalau berteman itu
jangan egois yaitu lebih mementingkan diri sendiri
C. Moni,
monyet yang licik
1. Sinopsis
Moni, monyet yang licik
Seekor kera namanya Moni dan seekor kura-kura hidup di
sebuah hutan dekat sungai. Namun, kera yang satu ini mempunyai sifat
yang tidak terpuji. Ia licik, suka memperalat temannya untuk kepentingan
dirinya.
Kera bersahabat dengan kura-kura karena ada
yang diharapkan dari kura-kura. Bila bepergian ke suatu tempat, kera selalu
naik di atas punggung kura-kura dengan berbagai alasan: capek, kakinya sakit
dan alasan yang lain. Kura-kura tak pernah sakit hati. Kura-kura menurut saja.
Kemampuan kera mengambil hati membuat kura-kura luluh dan selalu dekat dengan
kura-kura. “Tanpa bantuan makhluk lain, tak mungkin kita bisa hidup,” bisik
hatinya.
Jika di tengah perjalanan ditemukan pohon yang sedang
berbuah, kera dengan gesit memanjat pohon itu, sementara kura-kura disuruhnya
menunggu di bawah. Setelah perutnya kenyang, barulah kera ingat temannya yang
sedang menunggu di bawah. Hanya buah-buah yang jelek dan kulit-kulitnya yang
dilempar ke bawah sambil mengatakan, “Wah kura-kura, buahnya jelek-jelek dan
sudah banyak yang dimakan kelelawar sehingga tinggal kulitnya saja. Terima saja
ini untukmu.”
Hidup mengembara dari hari ke hari telah
membuat mereka bosan. Pada suatu hari, datanglah musim kemarau panjang. Hujan
tidak kunjung datang. Pohon-pohon di hutan banyak yang layu dan tidak berbuah.
Kera dan kura-kura sedang berteduh di bawah pohon di pinggir sungai sambil
berpikir tentang apa yang harus dilakukan menghadapi situasi seperti itu.
Kera membuka percakapan. “Kura-kura, apa yang
harus kita lakukan menghadapi musim kemarau ini?” tanyanya kepada si kura-kura.
Kura-kura tidak menjawab karena memang kura-kura tidak mampu berpikir yang
berat-berat. Akhirnya, kera melanjutkan pembicaraannya, “Sebaiknya kita menanam
pisang, sebentar lagi musim hujan akan datang.”
“Saya setuju,” jawab kura-kura.
“Dari mana bibitnya?” tanyanya kepada kera.
“Begini saja, kita menunggu di tepi sungai ini. Pada musim hujan, banyak
manusia membuang anak pisang ke sungai. Nanti kalau ada yang
hanyut kita ambil.” Mereka berdua setuju. Mula-mula mereka bekerja keras
membuka hutan untuk ditanami pohon pisang. Setelah tanahnya siap, datanglah
musim hujan. Sepanjang hari mereka di tepi sungai menunggu pohon pisang yang
hanyut. Tidak seberapa lama dari jauh tampak pohon pisang hanyut. Kera
berteriak, “Kura-kura cepat berenang kamu! Ambil batang pisang itu! Saya takut
air dan tak bisa berenang.”
“Kalau berenang saya jagonya.” kata kura-kura
menyombongkan diri.
“Kamulah yang beruntung bisa berenang, sedang
aku tidak pandai berenang. Kalau aku pandai berenang, tidaklah engkau perlu
bersusah-susah mengambil batang pisang itu. Aku tentu akan membantumu,” ujar
kera dengan licik.
Mendengar ucapan kera itu, hati kura-kura
menjadi terharu. Oleh karena itu, ia segera berenang menarik batang pisang itu
ke tepi sungai. Batang pisang itu dikumpulkan satu per satu. Setelah cukup
banyak barulah ditanam. Mereka membagi dua setiap batang pisang sama Panjang
agar adil. Bagian atas diambil si kera dan bagian bawah diberikan kepada
kura-kura. Kera rupanya tahu bahwa buah pisang selalu ada di bagian atas. Oleh
karena itu, ia mengambil bagian atas.
Beberapa waktu mereka bekerja menanam pohon pisang.
Kura-kura rajin sekali memelihara tanamannya, sedangkan tanaman si kera tentu
saja mernbusuk dan mati sernua.
Setelah kebun pisang milik kura-kura berbuah
dan buahnya mulai masak, datanglah kera bertandang. “Hai kura-kura, tidakkah
kau lihat pisangmu telah masak di pohon,” tanya kera bersemangat.
“Ya, saya lihat, hanya saya tak mampu
memanjat untuk memetiknya,” jawab kura-kura.
“Apakah artinya kita bersahabat, kalau saya
tidak dapat membantumu,” kata kera.
Dalam hati kera, muncul akal liciknya, lebih-lebih
Perulnya sudah mulai terasa lapar. Kera menawarkan diri untuk membantu
kura-kura memanen pisangnya. Kurakura setuju. Dengan gesit, kera memanjat pohon
pisang yang telah ranum buahnya. Di atas pohon ia makan sepuas-puasnya,
sedangkan kura-kura (si pemilik kebun) dilupakannya. Ia menunggu dengan hati
yang mendongkol. Kadang-kadang, kera melemparkan kulit kepada kura-kura. Hal
itu dilakukannya setiap hari, sampai kebun itu habis buahnya.
Sejak itu, kura-kura merasa sakit hati.
Namun, apa yang bisa dilakukannya? Sebagai makhluk Tuhan yang lemah, ia hanya
bisa berdoa semoga yang curang dan khianat mendapat murka Tuhan. Mereka
berpisah untuk waktu yang agak lama. Kura-kura selalu menghindar jika mendengar
suara kera.
Pada suatu hari yang panas, udara menjadi
kering. Buah-buahan di hutan semakin berkurang. Para satwa di hutan banyak yang
kelaparan dan kehausan. Apalagi kera yang rakus itu. Ia berjalan gontai mencari
teman senasib sepenanggungan. Lalu ia beristirahat di bawah pohon yang rindang,
di atas sebuah batu. Karena lapar dan haus, kera tidak sadar bahwa yang
diduduki itu adalah punggung si kura-kura yang sedang beristirahat pula. Karena
udara panas, kura-kura menyembunyikan kepalanya di bawah punggungnya yang keras
itu. Si kera kemudian berteriak memanggil sahabalnya, “Kura-kuraaaaa……., di
mana kamu, Kemarilah! Kita sudah lama tidak bertemu”
Terdengarlah suara dari bawah pantat si kera,
“Uuuuuuwuk…..”.
Kera berteriak lagi, “Ooooo…. kura-kuraaa…,
kemarilaaah! Aku ingin bertemu denganmu.” Terdengar lagi suara dari pantatnya,
“Uuuuuuuwuk….”.
Kera marah sekali. Ia mengira, suara itu
adalah suara alat kelaminnya yang mengejeknya. Sebenarnya, suara itu adalah
suara kura-kura yang didudukinya. Dengan geram, ia mengancam alat kelaminnya
sendiri. “Jika kamu mengejekku lagi akan aku hancurkan!” ancamnya. Kemudian, ia
berteriak lagi, “Kura-kuraaaaaaaaaaa…”. Mendengar suara itu marahlah si kera.
la mengambil batu, lalu alat kelaminnya dipukul berkali-kali. Kera
menjeritjerit kesakitan, sambil terus memukulkan batu itu ke arah alat
kelaminnya. Kura-kura menjulurkan kepalanya. Ia ingin menolong, tetapi sudah
terlambat. Kera sahabatnya yang licik itu telah mati.
2. Analisis
a)
Tema
Kesetiaan dan penghianatan
terhadap teman
b)
Penokohan
Kura-kura : seseorang yang setia dan peduli terhadap teman
walaupun ia tahu temannya itu tidak baik, seorang yang religius
Monyet : seseorang yang egois, tidak peduli perasaan
dan apa yang dirasakan teman sendiri, dan bodoh
c)
Amanat
Orang yang berkhianat akan
mendapat balasannya
d)
Latar
Hutan, sungai, kebun
e)
Sudut Pandang
Orang ketiga pelaku sampingan
f)
Unsur Ekstrinsik
Norma-norma :
norma sosial : Hendaknya
kalau berteman itu jangan egois yaitu lebih mementingkan diri sendiri
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setiap cerita dan dongeng mempunyai kandungan yang dapat diambil hikmah
dan pelajarannya, hendaknya kita mengambil hikmahnya dan kebaikan yang diambil
dari cerita dan dongeng-dongeng tersebut, diantaranya janganlah kita mementingkan
diri sendiri, jangan egois, dan kalau diuji oleh Tuhan ada diantara teman kita
seperti itu hendaklah bersabar menghadapinya, karena kalau sudah masanya Tuhan
sendirilah yang akan membalasnya.
B.
SARAN
Rajin-rajinlah membaca, apapun itu
walau hanya sebuah cerita mempunyai hal-hal yang dapat kita ambil hikmah dan
ajaran yang bisa kita jadikan pedoman hidup sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fabel – Moni, Monyet Yang Licik, http://dongengkakrico.wordpress.com/fabel/fabel-moni-monyet-yang-licik
[diakses : senin, 14 April 2014]
hmmmm astaga naga gue gak jelas
BalasHapus