A.
Pengertian
Khawarij
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab (kharaja)
yang berarti keluarnama ini diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari
barisan Ali. Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam
adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Tholib yang
keluar meninggalkan barisan karena ketidakkesepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase. Dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M,
dengan kelompok bughot (pemberontak) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal
persengketaak khalifah.
B.
Latar
Belakang Kemunculan Khawarij
Khawarij merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah
kekuatan politik. Dikatakan khawarij karena mereka keluar dari dari barisan
pasukan Ali saat pulang dari perang siffin yang dimenangkan oleh Mu’awiyah
melalui tipu daya perdamaian yang disepakati olh ali. Sikap Ali menghentikan
peperangan tersebut, menurut mereka merupakan suatu kesalahan besar, karena
Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan Thalhah dan Zubair.
Kemudian kaum Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang dianggap
melakukan kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan kesalahan karena
mengubah sistem politiknya sehingga menimbulkan huru-hara. Dan Ali bin Abi
Thalib sendiri yang melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran dalam
perang siffin.
Pada awalnya tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada
Mu’awiyah, Amru bin Ash Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang
keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai). Namun, tahkim tersebut
menurut orang-orang khawarij tidak sesuai dengan ketentuan ajran agama, karena
Mu’awiyah adalah pembangkang yang seharusnya diperangi.
Kendati semua yang mereka kafirkan adalah para pelaku
politik yang menurut pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak
mengikuti norma agama sesuai Al-Qur’an, namun demikian mereka
juga mengafirkan para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan
lebih jauh mereka mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dan tidak
sealiran dengan mereka. Akhirnya semakin banyak konflik dan pertempuran akibat
pemikiran teologynya, sehingga Ali bin Abi Thalib penguasa sah saat itu
menyerang dan menghancurkannya tahun 37H. akan tetapi salah seorang dari mereka
ada yang selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40H.
Walaupun telah dihancurkan Ali tahun ke-37H, namun sisa-sisa
kekuatan mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun kekuatan lagi.
Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga dapat dihancurkan kembali oleh
Bani Umayyah pada tahun 70 H. sisa-sisanya dari sub sekte Ibadiyah
masih ada di Sahara Al-Jazair, Tunisia, Pulau Zebra, Omman dan Arabia Selatan.
Akan tetapi mereka tidak melakukan perlawanan politik apa-apa terhadap penguasa
yang sah.
C.
Doktrin-doktrin
Pokoknya
Karena dalam Islam kekuasaan politik dan agama (teologi) tak
terpisahkan, maka khawarij pun juga bersifat teologis. Pembicaraan
pokok Khawarij dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
· Ajaran
pokok Kawarij di bidang politik
1.
Mereka
lebih bersifat demokratis, bahwa kekhalifahan itu haruslah diadakan dangan
pemilihan umum secara bebas dan sah yang akan diikuti oleh semua umat Islam
secara keseluruhan.
2.
Bahwa yang
berhak menduduki jabatan khalifah tidak hanya terbatas pada orang-orang dari
keturunan Quraisy, tetapi semua bangsa Arab maupun non arab.
3.
Khalifah
sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya,
Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
4.
Khalifah
Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap telah
menyeleweng.
· Ajaran
pokok Khawarij di bidang teologi
1.
Khawarij
berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa, tidak pandang dosa apapun (baik
kecil maupun besar) termasuk sesuatu yang mereka pandang salah, mereka menghukuminya
sebagai orang kafir.
2.
Bahwa
orang-orang yang berbuat dosa besar dan tidak bertubat, maka mereka itulah
orang kafir yang kelak di dalam neraka.
3.
Bahwa
Khawarij lebih berpegang kepada dhahirnya lafadz dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an.
D.
Sekte-sekte
Khawarij
Sebagaimana telah dikemukakan, Khawarij telah
menjadikan imamah-khilafah (politik) sebagai doktrin sentral yang
memicu timbulnya doktri-doktrin teologis lainnya.Radikalitas yang melekat pada
watak dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkan mereka sangat rentan pada
perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal
dengan sesama kelompok Islam lainnya.
Untuk mengetahui pandangan mereka tentang iman dan kufr dapat
dilacak dari pandangan masing-0masing sekte tersebut. Paham dan ajaran pokok
dari setiap sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut:
1.
Al-Muhakkimah: dipandang sebagai golongan Khawarij
asli karena terdiri dari pengikut Ali yang kemudian membangkang. Selanjutnya
dalam paham sekte ini Ali, Mu’awiyah dan semua orang yang
menyetujui arbitrase dituduh telah kafir karena mereka telah
menyimpang dari ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam surat al-Maidah ayat
44.
2.
Al-Azariqah:
bahwa setiap orang Islam yang menolak ajaran mereka dianggap musyrik. Mereka
yang tidak berhijrah ke wilayah mereka juga musyrik, semua orang Islam yang
musyrik boleh ditawan atau dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Mereka
memandang daerah mereka sebagai dar al-Islam (darul Islam), di luar daerah
itu dianggap dar al-kufr(daerah yang dikuasai atau diperintah oleh orang
kafir)
3.
An-Najjat:
mereka menolak paham al-Azariqah. Bagi An-najdat dosa kecil dapat meningkatkan
menjadi besar bila dikerjakan terus menerus.Bagi
mereka taqiyah (orang yang menyembunyikan identitas keimanannya demi
keselamatan dirinya diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan
yang bertentangan dengan keyakinannya.
4.
Al-Ajaridah:
pandangan mereka lebih moderat, orang lain tidak wajib hijjrah ke wilayah
mereka, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang
mati terbunuh, anak kecil tidak dianggap musyrik, Surah Yusuf dipandang bukan
bagian dari al-Qur’an karena tidak layak memuat cerita-cerita percintaan.
5.
As-Sufriyah:
pendapatnya yang penting adalah istilah kufr atau kafir mengandung
dua arti, yaitu kufr al-ni’mah (mengingkari nikmat Tuhan) kafir tidak
berati keluar dari Islam dan kufr bi Allah (mengingkari Tuhan )
taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan, kecuali bagi wanita Islam boleh
menikah dengan Laki-laki kafir bila terancam keamanan dirinya.
6.
Al-Ibadiyah:
orang yang berdosa besar tidak disebut mukmin,
melainkan muwahhid (yang dimaksud adalah kafir nikmat, tidak membuat
pelakunya keluar dari Islam). Dar al-kufrhanyalah markas pemerintahan dan
itu yang harus diperangi, selain itu Dar al-tauhid(daerah yang dikuasai
oleh orang-orang Islam), tidak boleh diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam
perang adalah kuda dan alat perang.
AL-MURJI’AH
A.
Pengertian
kata Murji’ah
Ada beberapa pendapat tentang pengertian
Murji’ah.
1.
Pendapat
pertama mengatakan bahwa Murji’ah berarti penangguhan. Kata Murji’ah
dipergunakan untuk menyebut suatu kelompok Muslim, karena mereka menangguhkan
perbuatan dari niat dan balasan.
2.
Pendapat
kedua mengartikan Murji’ah dengan ‘memberi harapan’: bahwa kata Murji’ah
berasal dari kata al-raja’ yang berarti harapan.
Adapun secara istilah, Murji’ah adalah kelompok yang mengesampingkan
atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka kemaksiatan itu
tidak mengurangi keimanan seseorang.Ada juga yang berpendapat bahwa irja’
berarti penangguhan hukuman kepada orang yang berbuat dosa besar sampai hari
kiamat.
B.
Asal-usul
kemunculan Murji’ah
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan
Murji’ah.Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’ dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme.Murjia’h, baik sebagai kelompok politik maupun teologis,
diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.Kelompok ini
merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain yang mengatakan bahwa gagasan irja’, yang merupakan basis
doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah,
sekitar tahun 695M. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa 20 tahun setelah
kematian Muawiyah, pada tahun 680M, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil.
Al-Mukhtar membawa pemahaman syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687M; Ibnu Zubayr
mengklaim kekhalifahan di Makkah hingga yang berada di bawah kekuasaan
Islam.Sebagai respon dari keadaaan ini, muncul gagasan irja’ atau penangguhan.
Gagasan ini pertama kali depergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam surat pendeknya. Dalam surat
tersebut, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “kita
mengakui Abu Bakar dan Umar, akan tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan
yang terjadi pada komflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali dan Zubayr
(seorang tokoh pembelot ke makkah)”. Dengan sikap politik ini, Al-Hasan
mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam.Ia kemudian mengelak
berdamping dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau
mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang
menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan
si pendosa Usman.
Teori lain yang menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara
Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan
Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang
kontra.Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu
Khawarij.Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an,
dalam pengertian tidak bertahkim pada berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu,
mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat
dihukumi sebagai kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina,
riba, membunuh tanpa alasan yang benar serta durhaka pada orang tua. Pendapat
ini ditentang kelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan
pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan
kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.
Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan polotik, kemudian
berkembang menjadi aliran teologi.Abu Zahrah berpendapat bahwa golongan ini
timbul di tengah-tengah dibicarakannya masalah orang yang berbuat dosa besar,
apakah mukmin atau tidak? Bagi Khawarij, mereka itu kafir. Bagi Mu’tazilah,
mereka itu dan sebenarnya mereka masih disebut muslim. Adapun Hasan Al-Basri
dan sebagian Tabi’in menyatakan orang itu munafiq, karena susungguhnya
perbuatan menunjukkan hati dan ucapan syahadat itu tidaklah menunjukkan iman.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14 :
Artinya : “orang-orang Arab Badui itu
berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman,
tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."
C.
Doktrin-doktrin
Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau
doktrin irja’ atau arja yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik
persoalan politik maupun teologis.Di bidang politik, doktrin irja’
diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu
diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya. Kelompok Murji’ah dikenal
pula sebagai ‘kelompok bungkam’. Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh
sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan Murjiah ketika
menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks
sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an,
eskatologi, pengampunan dosa besar, kemaksuman Nabi, hukuman atas dosa, serta
ketentuan Tuhan.
Menurut Abu A’la Al-Maududi, ada dua doktrin pokok ajaran Murji’ah :
1.
Iman
adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan
tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman.Berdasarkan hal ini,
seseoarang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardukan dan melakukan dosa besar.
2.
Dasar
keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang.Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik
dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
D.
Sekte-sekte
Murji’ah
Ada beberapa golongan Murji’ah dalam
persoalan iman dan kufur :
1.
Al-Yunusiyyah
: yang dipelopori oleh Yunus ibn ‘Aun al-Namiri, berpendapat bahwa iman adalah
ma’rifah kepada Allah dengan menaatinya, mencintai dengan sepenuh hati,
meninggalkan takabbur.
2.
Al-Ubaidiyyah
: yang dipelopori oleh ‘Ubaid al-Mukta’ib, berpendapat bahwa selain perbuatan
syirik akan diampuni Allah.
3.
Al-Ghassaniyyah
: dipelopori oleh Ghassan al-Kafi, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah
kepada Allah dan Rasul, mengakui dengan lisan akan kebenaran yang diturunkan
oleh Allah, namun secara globlal tidak perlu secara rinci. Iman menurutnya
bersifat statis : tidak bertambah dan berkurang.
4.
Ats-Tsaubaniyyah
: dipelopori oleh Abu Tsauban al-Murji’i, berpendapat bahwa iman adalah
mengenal dan mengakui terhadap Allah dan Rasulnya.
SYI’AH
A.
Latar Belakang Syi’ah
Kata Syi’ah berasal adri kata sya’ah, syiya’ah (bahasa Arab) yang berarti mengikuti.Jika dikatakan “seorang dari syi’ah Fulan”, hal ini berarti bahwa dia dari pengikut Fulan.Kata syi’ah berlaku baik untuk tinggal, ganda maupun jama’, baik untuk maskulin maupun feminin. Dari pengertin umum ini, kemudian kata syi’ah dilekatkan secara khusus kepada para pengkut Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW.
Kata syi’ah ini sendiri muncul dari Mukhtar bi Abi
Ubaid ats-Saqfi yang mengatakan bahwa “adalah syi’ah yang merupakan keturunan
Nabi Muhammad saw bin Ali bin Abi Thalib”. Dan setelah
Mukhtar bin Ali bn Abi Thalib terbunuh, syi’ah menjadi sebuah kelompok atau
aliran agama yang meletakkan dasar-dasar Syi’ah. Tetapi saat itu syi’ah belum
sempurna menjadi suatu aliran hingga pada masa Ja’far Shadiq.
Maka, doktrin penting dalam syi’ah adalah pernyataan bahwa segala
petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait, dan menolak petunjuk-petunjuk
keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.
B.
Ragam
Pendapat Tentang Kelahiran Syi’ah
Ada
beberapa pendapat yang diutarakan para sejarawan Islam dan para penganut
sekte-sekte dan isme-isme (Heresiographer) dalam Islam tentang kelahiran faham
Syi’ah. Diantaranya:
Embrio syi’ah dimulai dengan peristiwa setelah wafat Nabi Muhammad
SAW. Ada kelompok yang memandang bahwa ahlul bait lah yan paling berhak
meneruskan kepemimpinan Nabi, dan yang paling berhak dari ahlul bait adalah
Ali. Pendukungnya yaitu Salman Al-Farisi Abu Dzarr, dan Al-Mikdad bin Al-Aswad
Al-Kindi. Pandangan kelompok ini diperkuat oleh komentar Ali terhadap Hadits
Nabi “ Al-Aimmatu min quroisy” /9pemimpin itu dari Quraisy) yang dijadikan
legitimasi penunjuk Abu bakar sebagai Khalifah: “Mereka telah berdalih dengan
pohon tak lupa akan buahnya (maksudnya ahlul baith).
Syi’ah lahir pada zaman khalifaah ketiga Utsman bin Affan sebagai
konsekwensi logis adanya berbagai kejadian dan penyimpangan-penyimpangan di
tengah masyarakat Islam. Pendapat tersebit diutarakan oleh Ibn Hazm dan ulama’
lain.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terjadi pemberontakan
terhadap Khalifah Utsman bin Affan yang berakhir dengan kamatian Utsman bin
Affan dan ada tuntuy=tan umat agar Ali bin Abi Thlib bersedia dibaiat sebagai
khalifah.
Pendapat yang paling populer adalah bahwa syi’ah lahir setelah
gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak
Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa
al-Tahkim atau arbitrase. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali.Mereka ini
disebut golongan khawarij. Sebagian besar orang yang setia kepada Khalifah
disebut Syi’atu Ali (Pengikut Ali)
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah iman atau
Khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW telah
tumbuh sejak Nabi masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad SAW sendirilah
yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syi’ah inti dari ajaran syi’ah itu
sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Namun, terlepas dari semua pendapat tersebut, yangjelas adalah bahwa
syi’ah baru muncul ke permukaan setelah ada kemelut antara pasukan Ali pun
terjadi pula pertentangan antara yang tetap setia kepada Ali dan yang
membangkan.
Doktrin politik yang dikembangkan adalah
doktrin kelompok yang dipandang sebagai embrio syi’ah. Menurut Ahmad Salaby ada
tujuh faktor yang memungkinkan pertumbuhan syi’ah yaitu :
1. Utsman, karena sebagian kebijaksanaannya dan
kedudukannya di tengah keluarganya telah menumbuhkan margaisme
2. Kecenderungan
emosional yang alami untuk mendukung, mencintai dan membela keluarga Rasul.
3. Kepribadian
Ali yang terkenal kepahlawanannya yang tanpa tanding pada masa penyebaran
Islam, ilmunya yang luas dan akhlaqnya yang baik
4. Pendapat umum
bahwa Ali tersisih dan dijauhkan dari kedudukan Kholifah yang sebetulnya pantas
didudukinya
5. Ali
mejadikan Kuffah sebagai ibu kota, dan semenjak itu Kuffah sebagai pusat
gerakan Syi’ah
6. Sebelum Islam
di Persia, telah dianut secara meluas pandangan tentang “Devine Right”
(kebenaran ilahiah) yang beranggapan bahwa darah Tuhan telah mengalir pada
keuarhga Raja, sehingga dengan demikian Raja adalah pemilik kebenaran hukum
yang rakyat wajib menaatinya serta penunjukkan raja dari keluarga ini adalah
kewajiban suci.
7. Di antara
pemberontak (terhadap Utsman) terlibat orang-orang yang kalah oleh Islam,
sehingga mereka ingin menghancurkan Islam.
Sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Razak di bukunya Ilmu Kalam,
bahwa menurut syi’ah hanya Ali bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan
Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah sejalan dengan isyarah yang
diberikan Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah
peristiwa Ghadir Khum. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji
terakhir, dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang
bernama Ghadir Khum. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan
masa yang penuh sesak yang menyertai beliau.Pada peristiwa itu, Nabi tidak
hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umat, tetapi juga menjadikan Ali
sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka.
C.
Sekta-Sekte
Syi’ah
Persoalan imamah menimbulkan sekte-sekte dalam Syi’ah. Semua sekte
syi’ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian
Husain bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa yang
nantinya menjadi pengganti dari Husain bin Ali. Dalam hal ini muncul dua
keompok dalam syi’ah. Kelompok pertama, meyakini bahwa imamah beralih kepada Ali
bin Husain Zainal Abidin, putra dari Husain bin Ali sendiri. Kelompok kedua,
meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hnafiyah, putra Ali bin Abi
Thalib dari istri bukan Fatimah.
1.
Golongan
Kisaniyah
Pendirinya adalah Kisan, mantan pelayan Ali bin Abi Thalib, pernah
belajar kepada Muhammad bin Hanafiyah.
Mereka sependapat bahwa agama merupakan ketaatan kepada
pemimpin (imam), karena para imam dapat menakwilkan ajaran-ajaran agama seperti
sholat, puasa, dan haji. Bahkan sebagian dari mereka ada yang meninggalkan
perintah agama dan merasa cukup dengan nenaati para imam.Ada lagi yang
berpendapat bahwa imam boleh saja dari luar keturunan Ali, tetapi kemudian
kembali kepada keturunan Ali.
2.
Al-Zaidiyah
Al-Zaidiyah adalh para pengikut Zaid ign Alim ibn Husain ibn Ali ibn
Abi Thalib.Menurut mereka, imammah hanya berada di tangan keturunan Fatimah dan
tidak ada imammah selain mereka.mereka membolehkan ada dua orang imam pada dua
daerah yang telah memenuhi persyaratan dan keduanya imam yang sah dan wajib ditaati.
3.
Al-Imamiyah
Imamiyah adalah kelompok Shi’ah yang berpendapat bahwa Ali Ibn Abi
Thalib secara nash dinyatakan sebagai imam bukan hanya disebut sifatnya bahkan
ditunjuk orangnya. Tidak ada yang terpenting dalam ajaran Islam selain dari
menunjuk imam karenanya Rasulullah sampai akhir hayatnya selalu mengurus urusan
umat.Diangkatnya imam adalah untuk menghilangkan semua
perselisihan dan untuk mempersatukan umat.
4.
Al-Ghaliyyah
(Ekstrim)
Al-Ghaliyyah adalah golongan ekstrim yang berlebihan dalam memberikan
sifat para iman yang akhirnya menghilangkan sifat kemanusiaan pada diri para
imam.
5.
Isma’iliyah
Isma’iliyah mengakui imamah Ismail ibn Jafar ialah putra Jafar
Ash-Shaddiq yang menurut mereka ditetapkan sebagai imam menurut taqdir Allah,
menurut mereka Jafar Ash-shadiq tidak pernah kawin dengan seorang wanita dan
tidak pernah mangambil jariah selama ibu Ismail masih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar