Dosen Pembimbing :
Siliwangi, S. Ag, M. H.I
Disusun Oleh :
AHMAD ATHOILLAH :
13.12.3153
JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUSSALAM MARTAPURA
1435 H/2014 M
KATA PENGANTAR
الحمد لله الوهاب المنان * المنعم علينا بنعمة الاسلام و
الايمان * والصلاة والسلام على سيدن محمد منبع العلم والرسالة وعلى آله الطاهرين *
وصحابته الوارثين لأحكام شرىعته الى يوم الدين * أما بعد :
Segala puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan segala
karunianya yang tidak terhingga, khususnya ni‟mat Iman dan Islam. Yang dengan
keduanya diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sholawat dan Salam semoga selalu tercurah atas Baginda Nabi
Muhammad SAW, dan atas keluarga dan sahabat beliau serta orang-orang yang
mengikuti jejak langkah mereka itu hingga akhir zaman.
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT makalah ini telah
dapat kami selesaikan, dengan tema yang telah ditentukan. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak Siliwangi, S. Ag M. HI sebagai Dosen
Pembimbing mata kuliah FIQIH B, atas bimbingannya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Terima kasih pula kami ucapkan kepada rekan-rekan khususnya dari
lokal A, atas segala bantuannya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna, dan penuh dengan kekurangan, mudah-mudahan bisa lebih disempurnakan
lagi di masa-masa mendatang.
Akhirnya semoga pekerjaan kita ini diberi pahala oleh Allah SWT.
Amiin.
Martapura, Juni 2014
Penyusun
Ahmad Athoillah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penerapan Islam secara kaffah menyeluruh, memang
tidaklah mudah, ia memerlukan kelengkapan dan situasi yang mendukung
pelaksanaannya. Terutama kelengkapan ilmu pengetahuan di setiap individunya.
Pengetahuan yang tidak hanya di bidang fiqih ibadah, tetapi masih ada lagi
fiqih mu’amalah, munakahat, jinayat dan lain-lain. Bahkan bukan hanya ilmu
fiqih yang sering dikaitkan ketika berbicara Syari’at Islam, ilmu-ilmu Islam
lain seolah-olah hilang ketika berbicara syari’at Islam.
Agama Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna
telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan
manusia baik dalam hubungan yang bersifat vertikal dengan Sang Pencipta berupa
ibadah, maupun yang bersifat horizontal yaitu hubungan dengan makhlukNya yaitu
mu’amalah. Manusia yang merupakan makhluk sosial, mau tidak mau setiap orang pasti
akan berinteraksi dengan orang lain untuk saling memenuhi kebutuhan dan saling
tolong menolong diantara mereka.
Di masyarakat kita, hutang piutang terkadang tidak
dapat dihindari, padahal rasa saling percaya diantara manusia semakin hari
semakin menipis saja, khususnya di zaman sekarang ini. Sehingga orang-orang
biasanya agar memberi rasa aman, meminta jaminan benda atau barang berharga
dalam transaksi hutang piutang.
Dalam bab fiqih mu’amalah, transaksi yang menjadikan
barang berharga sebagai jaminan dalam proses hutang-piutang ini disebut Rahn
(gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk
riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang
yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang
melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai tersebut.
وَكُلُّ مَنْ
بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلَنْ # أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لَا تُقْبَلَنْ
“ Dan tiap orang yang ber’amal tanpa ilmu # segala ‘amalnya
itu ditolak, tidak diterima”
Karena hal itu di makalah ini, kami akan mencoba
sedikit membahas apa itu gadai dan jenis-jenisnya, serta apakah hukumnya.
B. Rumusan Masalah
- Apa yang di maksud dengan Rahn
?
- Apa dasar hukum Rahn ?
- Bagaimana hukum Rahn ?
- Ada berapa macam dan jenis Rahn
?
C. Tujuan Masalah
- Mengetahui yang di maksud
dengan Rahn
- Mengetahui apa dasar hukum Rahn
- Mengetahui bagaimana
hukum Rahn
- Mengetahui ada berapa macam dan
jenis Rahn
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rahn (Gadai)
Secara etimologi, الرهن Rahn berarti الثبوت والدوام (tetap, lama, dan jaminan) yakni tetap berarti الحبس
واللزوم (pengekangan dan keharusan). Dalam
hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan
menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan
sebagai pembayaran dari barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah
Gadai secara istilah ialah mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang
dapat dijadikan pembayar ktika berhalangan dalam membayar utang.
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang
bersifat derma, sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada
penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan murtahin
kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikannya.
Rahn juga termasuk juga akad yang ‘ainiyah
yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti
hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad derma (tabarru)
yang dikatakan sempurna setelah serah terima (al-qabdu)
B.
Dasar Rahn (gadai)
1.
Al Qur’an
bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( (البقرة : ۲۸۳)
“Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang”
(Q.S. Al-Baqarah: 283)
2.
Assunnah
عن عائشة رضي الله
عنها ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم اشترى من يهودي طعاما ورهنه درعا من حديد (روه البخارى ومسلم)
“Dari Siti Ai’sah r.a. bahwa rasulullah saw bersabda:
pernah membeli makanan dengan baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
C. Hukum Rahn
Para ulama sepakat bahwa rahn di
bolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan jika kedua pihak
tidak saling mempercayai. Firman Allah diatas hanyalah irsyad (anjuran baik
saja) kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan, yang
artinya
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm/u‘ 3
“akan tetapi, jika sabagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya (utangnya). (Q.S.Al baqarah :283).
Hukum rahn secara umum terbagi dua
yaitu: shahih dan ghair shahih (fasid). Rahn shahih adalah rahn
yang memenuhi persyaratan. Sedangkan Rahn Fasid ialah rahn yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut.
D.
Rukun-rukun Rahn (gadai)
- Akad
ijab dan qabul seperti seseorang berkata “aku gadaikan
mejaku ini dengan harga Rp.10.000”, dan yang satu lagi menjawab “aku
terima gadai mejamu seharga Rp.10.000”, atau bisa pula dilakukan
selain dngan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
- Aqid, yaitu
yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtabin).
Adapun sarat yang berakad adalah ahli tasarruf, yaitu mampu orang
yang berhak membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
- Barang
yang diajadikan jaminan (marhun bih) syarat benda yang dijadikan
jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji uang harus
dibayar. Rasul bersabda:
كُلُّ مَا جَازَ
بَيْعــــُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan borg
gadai”.
Menurut
Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada
tiga macam yaitu kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.
E. Syarat Rahn
1.
Aqid, kedua
orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang
yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal (rasyid) dan
mumayiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian anak kecil yang
sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan
melakukan rahn.
2.
Shighat, ulama
hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau
dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai
syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
3.
Marhun (barang yang
digadaikan), syaratnya benda yang digadaikan adalah benda yanga sah dijual
walaupun benda itu kepunyaan bersama (syarikat)
4.
Marhun bih (utang),
yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang
yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lazim pada waktu akad, utang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
Jika dalam
Rahn ini ada persetujuan, barang yang digadaikan ini boleh dipegang oleh yang
menerima gadaian atau diserahkan kepada orang lain. Dalam hal ini orang yang
menggadaikan tidak boleh memakai barang itu sampai merugikan hak yang menerima
gadaian, seperti dijual, diberikan, atau diwaqafkan. Juga tidak boleh digunakan
sampai mengurangi nilai (harganya) dengan memakai dan mengambil hasilnya.
F.
JENIS-JENIS RAHN
Dalam prinsip syariah, gadai dikenal atas 2 macam, yaitu:
1)
Rahn ‘Iqar/Rasmi
(rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan
hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai
dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Misalnya :
Tomi memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt.
Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tomi menyerahkan BPKB Mobilnya
kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas
Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut tetap berada di
tangan Tomi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang
berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada
konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara
kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang
diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih
tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk
keperluan sehari-hari.
2)
Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai,
baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan
Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn
Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan
adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda
sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda
sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil kembali mobil tersebut.
Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang
digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat
mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan
pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda
bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor. Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau
pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat
diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti pembayaran uang
sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu
lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan
dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Sebagai contoh:
Putri sudah merencanakan untuk memasukkan anaknya ke Universitas yang
bermutu pada tahun ajaran baru ini. Namun demikian, ternyata anaknya hanya bisa
diterima melalui jalur khusus. Uang pangkal untuk masuk ke jurusan favorit
anaknya adalah sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri hanya memiliki uang tunai
sebesar Rp. 20 juta. Untuk mengatasi masalah tersebut, Putri mencari
alternative dengan cara menggadaikan perhiasan emasnya ke Bank Syariah
terdekat. Emasnya sebesar 50gram dan untuk itu, Putri berhak untuk mendapatkan
pembiayaan sebesar Rp. 15juta. Karena Putri merasa hanya membutuhkan uang
sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga bisa hanya mengambil dana tunai sebesar Rp.
10 juta saja.
Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang tunai kepada
Putri, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn untuk menjamin pembayaran kembali
dana yang dierima oleh Putri. Sebagai uang sewa tempat untuk menyimpan emas
tersebut pada tempat penitipan di Bank sekaligus biaya asuransi kehilangan emas
dimaksud, Bank berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan
berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian, jika
Putri baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30 (1
bulan), maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri adalah
sebesar:
Rp. 3.500,–
X 30 hari = Rp. 105.000,–
Jadi, pada saat
pengembalian dana yang diterima olehnya, Niken harus membayar uang sebesar:
Rp. 10 jt
+ Rp. 105.000,– = Rp. 10.105.000,–
Bagaimana kalau
ternyata dalam waktu 2 bulan Putri belum bisa mengembalikan dana tersebut? Jika
demikian, maka Putri dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai
tersebut kepada Bank yang berkenaan. Perpanjangan tersebut dapat dilakukan
secara lisan, dengan mengajukan pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula
sebaliknya, jika baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan dana yang
diterimanya, maka Putri tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan membayar biaya
sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu saja.
Jadi, prinsip pokok
dari Rahn adalah:
- Kepemilikan atas
barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
- Kepemilikan baru
beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima
oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual
barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan
oleh pemilik barang.
- Penerima gadai
tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas
seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai
berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan
atas barang yang digadaikan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara etimologi, rahn berarti الثبوت
والدوام (tetap dan
lama) yakni tetap berarti الحبس واللزوم (pengekangan dan keharusan). Sedangkan menurut istilah ialah
penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sbagai pembayaran dari
barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai secara istilah ialah
mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ktika
berhalangan dalam membayar utang.
Rukun-rukun
Rahn (gadai)
- Akad ijab dan qabul
- Aqid,.
- Barang yang diajadikan jaminan
(borg).
Syarat Rahn
- Aqid, kedua orang yang akan
akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang
telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak
disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz
dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan
rahn.
- Shighat, ulama hanafiyah
berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau
dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai
syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
- Marhun bih (utang), yaitu haq
yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang
tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
DAFTAR FUSTAKA
Prof. Dr.H.
Rachmat Ayaf’I, MA. Fiqh
Muamalah, Pustaka Setia Bandung,cet 10 2001,
Drs. H.
Hendi Suhendi, M.SI, Fiqh
Muamalah, PT Raja Grapindo Persada Jakarta, cet I Juli 2007.
Dr. H. Nasrun
Haroen, MA. Fiqh
Muamalah, Gaya Media
Pratama Jakarta, 2007
KH. Salim
Ma’ruf. Pedoman Mua’amalat Dalam Islam. Toko Kitab Al-Ihsan Surabaya, 1955.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar