Minggu, 22 Juni 2014

Makalah Ulumul Hadits - Sejarah Perkembangan, pembukuan, dan Pembinaan hadits



MATA KULIAH                                                    DOSEN PEMBIMBING
                 Ulumul Hadits                                              Drs. H. M. Hanafiyah, M. Hum


SEJARAH PERKEMBANGAN, PEMBUKUAN,
DAN PEMBINAAN HADITS

 








OLEH
KELOMPOK 1
1.           ABD. HAFIDZ ASSOUFI           : 13.12.3150
2.           ABD. WAHAB SYA’RANI        : 13.12.3151
3.           ADI ISWANDI                           : 13.12.3152
4.           AHMAD ATHOILLAH              : 13.12.3153
5.           AHMAD FAUZI                         : 13.12.3154
6.           AHMAD JAZULI                       : 13.12.3155
7.           AHMAD SHALEHIN                 : 13.12.3156
8.           JIBIL A JAMI                             : 13.12.3399


FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM MARTAPURA
1435 H / 2014 M


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي رفع الدرجات لمن انخفض لجلاله * وفتح البركات لمن انتصب لشكر افضاله * وأسكن الجنات لمن عرفه حق معرفته * والصلاة والسلام على من جزم بأنه أفضل الخلق كله * وعلى آله وأصحابه الذين بنوا أحوالهم على اتباع سنته * ومن تبعهم بإحسان الى يوم يرجعون فيه *
Segala puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan segala karunianya yang tidak terhingga, khususnya ni’mat Iman dan Islam, yang dengan keduanya diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sholawat dan Salam semoga selalu tercurah atas Baginda Nabi Muhammad SAW, dan atas keluarga dan sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka itu hingga akhir zaman.
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT makalah ini telah dapat kami selesaikan, dengan tema yang telah ditentukan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. H. M. Hanafiyah, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits, atas bimbingannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu
Terima kasih pula kami ucapkan kepada rekan-rekan khususnya dari kelompok 1, atas segala bantuannya.
Akhirnya, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, dan penuh dengan kekurangan, mudah-mudahan bisa lebih disempurnakan lagi di masa-masa mendatang.
Akhirnya semoga pekerjaan kita ini diberi pahala oleh Allah SWT. Amiin.


Martapura, April  2014 Penyusun

         Kelompok 1







DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang


Allah SWT memberi keistimewaan umat ini, umat akhir zaman, umat terbaik, umat Nabi Besar Muhammad SAW dengan berbagai keutamaan yang tidak diberikan-Nya kepada umat-umat lain sebelumnya, diantara keistimewaan itu adalah ketersinambungan perkataan-perkataan dan tingkah laku Nabi mereka yaitu Nabi Muhammad SAW yang dipindah dari satu generasi kepada generasi sesudahnya tanpa terputus. Tidaklah ada sebuah riwayat yang dikaitkan kepada Nabi Muhammad SAW melainkan ada juga bagi itu riwayat sebuah jalur periwayatan dari orang yang menyampaikan terus ke atasnya hingga Nabi Muhammad SAW. Jalur periwayatan ini disebut sanad atau isnad. Dari sanad inilah sebuat riwayat yang berkaitan dengan Nabi Muhammad dapat dinilai, apakah bisa diterima atau ditolak, tergantung kualitas orang yang meriwayatkannya, dinilai dari sudut pandang agama.
Sumber hukum utama setelah Al-Quran adalah Assunnah yaitu Hadits Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Al-Quran dan ilmu-ilmu yang lain, Hadits juga memiliki sejarah, dan perjalanan perkembangan yang panjang. Perjalanan sejarah keilmuan ini membentuknya menjadi sebuah ilmu yang matang dan baku sehingga segala hal yang berhubungan dengannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.
Pada makalah ini kami akan berusaha membahas tentang sejarah dan perkembangan hadits nabawiy dari masa ke masa. Juga tentang munculnya hadits-hadits palsu, serta upaya para ulama mengatasinya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits?

2.      Bagaimana sejarah munculnya hadits-hadits palsu?

3.      Bagaimana upaya penyelamatan ulama hadits atas munculnya hadits-hadits palsu?

C.    Tujuan Makalah

1.      Mengetahui sejarah perkembangan hadits?

2.      Mengetahui sejarah munculnya hadits-hadits palsu?

3.      Mengetahui upaya penyelamatan ulama hadits atas munculnya hadits-hadits palsu


BAB  II

PEMBAHASAN


1.   SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS


A.       Periode pertama (masa Rasulullah SAW)


Semasa Rasulullah SAW masih hidup, para shahabat dapat bergaul bersama Nabi di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, dalam perlayaran (musafir), dan tempat-tempat lainnya. Seluruh perbuatan Nabi, ucapan dan tindakan tanduk beliau menjadikan tumpuan perhatian para shahabat. Segala gerak-gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup mereka.
Para shahabat menerima hadist (syari’at) dari Rasulullah SAW adakalanya secara langsung, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai sendiri pembicaraannya. Tetapi adakalanya mereka menerima secara tidak langsung dari Nabi, baik mereka terima dari shahabat yang mendengar langsung, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
Semua shahabat, umumnya menerima hadist dari Nabi SAW kendati mereka tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasulullah SAW. Diantara para shahabat yang banyak menerima pelajaran dari Nabi SAW :

a)                   Yang mula-mula masuk Islam, yang dimuat (As Sabiqunal Awwalun) seperti Khulafaur Rasyidin dan Abdullah ibnu Mas’ud.

b)                  Yang selalu ada disamping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya seperti : Abu Hurairah RA, dan yang mencatat seperti : Abdullah ibn Amr ibn Ash.

c)                   Yang lama hidupnya sesudah Nabi, sehingga dapat menerima hadist dari sesama shahabat seperti : Anas bin Malik dan Abdullah ibn Abbas.

d)                  Yang erat perhubungannya dengan Nabi, yaitu Ummahatul Mu`minin seperti : Sayyidatina ‘Aisyah binti Abi Bakar RA dan Ummu Salamah.[1]

Keadaan hadist pada masa Nabi belum dibukukan. Karena ada larangan penulisan hadist dari Nabi dengan sabdanya :

لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ (رواه مسلم)

Artinya : “Jangan kalian tulis apa-apa yang datang dari aku, barangsiapa yang menulis dari aku selain Al-Qur’an, hendaklah menghapusnya.” (HR. Muslim)

Larangan penulisan hadist ini memang ada hikmahnya yaitu :

1)      Berhubung pada waktu itu shahabat-shahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca tulis), sedangkan pada waktu itu Wahyu Ilahi masih turun, sehingga Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan antara Al-Qur’an dan Hadist.

2)      Nabi percaya atas kekuatan hafalan para shahabatnya dan kemampuan mereka untuk memelihara ajarannya (Hadist) dan ini berarti Nabi secara tidak langsung mendidik mereka untuk percaya kepada kemampuan diri sendiri.

Tetapi disamping ada larangan menulis hadist seperti tersebut diatas, ada juga hadist Nabi yang memerintahkan/membolehkan menulis hadist sebagaimana hadist Nabi SAW riwayat Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash RA :

فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أُكْتُبْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّيْ إِلَّا حَقٌّ (رواه أحمد وأبو داود)

Artinya : “Tulislah apa yang datang dari aku, Demi Zat yang menguasai diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku melainkan yang benar.”(HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dalam menghadapi hadist yang nampaknya berlawanan itu ada beberapa pendapat. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa : Hadist yang melarang penulisan hadist itu telah dinasakh oleh hadist yang kedua (yang membolehkan). Sebagian Ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadist itu ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan hadist dengan Al-Qur’an. Sedang keizinan menulis hadist ditujukan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampur adukkan hadist dengan Al-Qur’an.
Mereka juga mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan antara hadist yang berisi larangan dengan hadist yang berisi keizinan. Larangan disini maksudnya ialah larangan dalam bentuk pembukuan resmi sebagaimana pembukuan (pentadwinan) Al-Qur’an, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis hadist secara pribadi.

B.     Periode kedua (masa Khulafaur Rasyidin 10 – 40 H)


Periode sejarah perkembangan hadist kedua adalah masa shahabat, khususnya Khulafa al-Rasyidin. Periode ini juga dikenal dengan  Zaman al-tatsabbut wa al-iqlal min al-Riwayah yang berarti periode membatasi hadist dan menyedikitkan riwayat.          Hal ini disebabkan karena para shahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Sehingga hadist kurang mendapatkan perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap otoriter dan membatasi dalam meriwayatkan hadist.
Sikap ini disebabkan adanya kekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan dalam meriwayatkan hadist. Karena hadist merupakan sumber tasyri’ kedua setelah Al-Qur’an yang harus dijaga keaslianya dan keabsahannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.

1.  Abu Bakar ash-Shiddiq


حَدَّثَنِي يَحْيَ عَنْ مَالِك عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَان بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرْشَةَ عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ اْلجَدَّةَ اِلَى اَبِيْ بَكْرٍ الصِدِّيْقِ تَسْأَلُهُ مِيْرَاثَهَا فَقَالَ لَهَا اَبُو بكْرِ مَالَكِ فِيْ كِتَابِ اللهِ شَيْئٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَاْرجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيْرَةُ بْنُ شُعْبَةَ خَضَرْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الَّله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْطَاهَاالسُّدُسَ فَقَالَ اَبُوْ بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الْاَنْصَارِيُّ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيْرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا اَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْق

   Artinya : “Dari Qabishah bin Dzu’aib Bahwasanya ia berkata : ketika Abu Bakar ash-Shiddiq didatangi seorang nenek yang menanyakan bagian warisnya, beliau menjawab :”Dalam kitabullah tidak terdapat bagian untukmu, dan sepengetahuan saya dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada. Silahkan kemari esok lusa , saya akan menanyakan hal itu kepada orang-orang.” Lalu Abu Bakar menanyakan kepada orang-orang. Diantara yang menjawab adalah al-Mughirah bin Syu’bah, Katanya :”saya pernah menghadap Rasulullah Saw, beliau menentukan bagian seperenam untuk nenek.” Abu Bakar lalu menanyainya : “apakah ketika kamu menghadap Rasulullah Saw kamu bersama orang lain?”. Maka Muhammad bin Maslamah al-Anshari bangkit dari duduknya dan berkata seperti yang dikatakan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian seperenam untuk nenek.”

   Berdasarkan riwayat diatas, pada masa pemerintahan Abu Bakar periwayatan hadist dilakukan dengan sangat hati-hati, tidak sembarangan menerima begitu saja riwayat suatu hadist, sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya.
   Sikap beliau tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan kongkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadist yang dimilikinya. Disebabkan karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadist. Tidak heran jika jumlah hadist yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari keadaan atau ukuran beliau bersama Nabi, beliaulah yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat.
   Menurut Syuhudi Ismail, terdapat tiga faktor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadist, yaitu :
a.       Selalu sibuk saat menjabat sebagai khalifah.
b.      Kebutuhan hadist tidak sebanyak pada zaman sesudahnya.
c.       Jarak waktu antara wafatnya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.[2]

2.         Umar bin Khattab


Sikap hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar juga diikuti oleh Umar bin Khattab. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya, untuk membuktikan kebenaran Hadits tersebut benar-benar Nabi SAW pernah mengatakannya. Sebagaimana Hadits dibawah ini :

عَنْ أَبِيْ سَعِيْد الخُدْرِي قَالَ كُنْتُ فِيْ مَجْلِسِ مِنْ مَجَالِسِ اْلأَنْصَارِ إِذْجَاءَ أَبُوْ مُوْسَى كَأَنَّهُ مَذْعُوْرٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ اسْتَأْذَنْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ وَقَالَ رَسُوْلُ الله         صَلَّى الَّله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنْ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ وَاللهِ لَتُقْيِمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ أَمِنْكُمْ أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنَ الَّنبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَاللهِ لَا يَقُوْمُ مَعَكَ إِلَّا أَصْغَرُ الْقَوْمِ فَكُنْتُ أَصْغَرَ اْلقَوْمِ فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ ذَلِكَ

   Artinya : “Abu Sa’id al-Khudry berkata : aku sedang berada di salah satu majelis kaum Anshar. Kemudian datang Abu Musa, seakan-akan sedang merasa kesal, lalu berkata : aku meminta izin bertemu sebanyak tiga kali, tetapi tidak diberi izin. Kemudian aku kembali saja.” Lalu ia berkata : “mengapa engkau tidak jadi masuk?” aku menjawab : “aku telah meminta izin sebanyak tiga kali tetapi tidak diberi izin , sehingga aku kembali.” Rasulullah pernah bersabda : “bila seseorang diantara kamu meminta izin (untuk bertamu), tetapi tidak diizinkan, maka sebaiknya ia kembali saja.’ Lalu Umar berkata : “Demi Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas apa yang kau katakan itu.” Adakah salah seorang di antara kamu yang mendengarnya dari Nabi SAW? Lalu Ubay bin Ka’ab berkata : “demi Allah, tidaklah berdiri bersamamu kecuali yang terkecil di antara kaummu. Aku lah yang terkecil itu. Lalu aku berdiri bersamanya. Aku beri tahu kepada Umar bahwa Nabi SAW memang mengatakan seperti diatas.” (HR. Bukhari)

Bahkan pada masa kekhalifahanya Umar meminta dengan keras supaya menyelidiki riwayat. Tidak membenarkan hingga melarang para sahabat untuk meriwayatkan Hadits, dan menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an dan mengembangkan kebagusan tajwidnya.
Larangan tersebut dimaksudkan sebagai peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam meriwayatkan Hadits, dan supaya perhatian mereka terhadap Al-Qur’an tidak terganggu. Karena pada masa itu naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya dan belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam.
Menurut ‘Ajjaj al-Khattib, mengutip pernyataan al-Khatib al-Baghdadi, sebab-sebab dilarangnya para sahabat menulis Hadits pada periode awal yaitu :


a.      Kekhawatiran mereka akan diabaikanya Al-Qur’an.
b.     Mayoritas orang Arab saat itu belum faham betul mengenai agama dan belum membudayakan musyawarah bersama kaum Ulama.
c.      Untuk menghindarkan kekeliruan dalam meriwayatkan Hadits, dan menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan Hadits.

3.         Utsman bin Affan


Pada masa Utsman bin Affan, periwayatan Hadits dilakukan dengan tetap menjaga sikap hati-hati. Hanya saja tidak setegas apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Sikap Utsman tersebut dapat dilihat ketika beliau sedang berkhutbah, meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan Hadits yang tidak pernah mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar.
Meskipun melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar tidak banyak meriwayatkan Hadits, ternyata pada zaman ini, kegiatan periwayatan Hadits telah banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Hal ini dikarenakan pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar dan karena wilayah Islam semakin luas yang mengakibatkan sulitnya pengendalian kegiatan periwayatan Hadits secara ketat.

4.         Ali bin Abi Thalib


Khalifah Ali tidak jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya. Tetap berhati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Ali baru bersedia menerima suatu riwayat apabila periwayat Hadits tersebut mengucapkan sumpah, bahwa Hadits yang disampaikan tersebut benar-benar berasal dari Nabi. Tetapi tidak pada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, seperti Abu Bakar.
Ali tidak meminta beliau untuk bersumpah karena telah benar-benar diyakini periwayatannya tidak mungkin keliru. Seperti dalam suatu riwayat, Ali menyatakan : “Abu Bakar telah memberitakan Hadits Nabi kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu...”. Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan Hadits Nabi melalui riwayat Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 Hadits. Sehingga dalam Musnad Ahmad, Ali bin abi Thalib adalah periwayat yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya. Hal ini disebabkan oleh sebagian matan dari Hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan sanadnya.
Pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali bin Abi Thalib telah terjadi pergolakan politik, yang mendorong orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan Hadits. Hadits yang beredar makin bertambah banyak. Berbeda jauh bila dibandingkan dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Maka, untuk mendapatkan Hadits dengan kualitas shahih, dibutuhkan penelitian yang mendalam dari segi periwayatan maupun matannya.

C.   Periode ketiga (Masa Shahabat kecil dan Tabi’in Besar)


Periode sejarah dan perkembangan Hadits yang ketiga adalah masa memperbanyak periwayatan atau dikenal sebagai Ashru Iktsar Riwayat al-Hadits. Periode ini terjadi pada masa sahabat kecil atau zaman tabi’in besar. Pada masa ini daerah Islam sudah meluas hingga negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada tahun 93 H tentara Islam berhasil menaklukkan Spanyol.
Pada periode ini umat Islam telah mulai mencurahkan perhatiannya terhadap periwayatan Hadits. Hal ini disebabkan :
a)      Al-Qur’an telah dikodifikasikan.
b)      Peristiwa-peristiwa yang dihadapi umat Islam semakin banyak. Dan memerlukan petunjuk-petunjuk dari Hadits-Hadits Rasulullah yang lebih banyak lagi, disamping petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an.
c)      Meninggalnya para shahabat, dan sahabat yang masih hidup banyak yang berpencar ke daerah-daerah.
Sedangkan cara umat Islam meriwayatkan Hadits pada periode ini yaitu :
a)      Para sahabat lebih berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadits. Demikian pula para tabi’in. Karena pada periode ini pemalsuan Hadits dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab semakin banyak.
b)      Bentuk periwayatan Hadits pada periode ini, masih sama dengan periode sebelumnya, yaitu dengan cara :
1)      Dari mulut ke mulut.
2)      Periwayatan dilakukan dengan lafdziyah dan ma’nawiyah.
3)      Bersandar kepada ingatan dan hafalan.
Meluasnya wilayah Islam dan mulai banyaknya periwayatan Hadits, menyebabkan munculnya pusat-pusat pembinaan Hadits dan sahabat yang banyak meriwayatkan Hadits (bendaharawan Hadits).

   Pusat-Pusat Pembinaan Hadits
a.  Madinah
   Tokoh-Tokoh dari kalangan shahabat : Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kuffah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Sa’id al-Khudry dan Zaid bin Tsabit.
Tokoh-tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id bin al-Musayyab (93H), Urwah bin al-       Zubair (94H), Ibn Syihab al-Zuhri, Ubaidillah bin Urbah bin Mas’ud dan Salim bin        Abdillah bin    Umar (94H).
b.  Makkah
Tokoh–Tokoh dari kalangan shahabat : Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Abbas, Haris           bin Hisyam, Atab bin Asid.
Tokoh-tokoh dari kalangan tabi’in : Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Abul    Zubair Muhammad bin Muslim.
c. Kuffah
Tokoh-tokoh dari kalangan sahabat : Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad           bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid.
Tokoh-tokoh dari kalangan tabi’in : Asy Sya’by, ibrahim An Nakha’iy, Al-Qamah    An-Nakha’iy.
d. Bashrah
Tokoh-tokoh dari kalangan shahabat : Anas bin Malik, Uthbah, Imran bin Husain,    Abu     Barzah, Abu Bakrah, Ma’qil bin Yasar.
Tokoh-tokoh dari kalangan tabi’in : Al-Hasan, Muhammad ibn Sirrin, Qatadah.
e. Syam
Tokoh-tokoh dari kalangan shahabat : Ubadah bin Shamit dan Abu Darda’
Tokoh-tokoh dari kalangan tabi’in : Umar ibn abdul Aziz, Qabisyah ibn Dzuaib, Makhul Ka’bul Akhbar.
f. Mesir
Tokoh-tokoh dari kalangan sahabat : kharijah bin hudzaifah, Uqbah bin Amir,           Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abu Basyrah.
Tokoh-tokoh dari kalangan tabi’in : Abul Khair Mursyad ibn Abdullah al-Yazimy    dan Yazid bin ibn Habib Thaus ibn Kaisyam Al-Yamani, Wahab ibn Munabbih             (110H).
   Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Haditst
a.     Abu Hurairah, menurut Ibn Jauzi dalam Talqih Fuhumi al-Atsar, meriwayatkan             Hadits dari Rasulullah sebanyak 5347 Hadits. Dalam kitab Musnad Imam Ahmad           sebanyak 3848 Hadits. Menurut perhitungan al-Kirmany 5364 buah Hadits. 352           Hadits disepakati oleh Bukhari Muslim (muttafaq ‘alaih), Imam Bukhari sendiri 93           Hadits dan Imam Muslim sendiri 139 Hadits. 
b.        Abdullah bin Umar, meriwayatkan 2630 Hadits menurut ibn Jauzi. Menurut    Imam Ahmad dalam Kitab Musnad 2019 Hadits. Muttafaq ‘alaih mentakhrij sebanyak    170 Hadits, Imam Bukhari 80 Hadits dan 31 Hadits oleh Imam Muslim.
c.         Anas bin Malik meriwayatkan 2286 Hadits. Dari Anas bin Malik muttafaq       ‘alaih mentakhrij sebanyak 168 Hadits. Oleh Imam Bukhari sendiri sebanyak 8 Hadits     dan oleh Imam Muslim sebanyak 70 Hadits.
d.     Aisyah binti Abu Bakar (isteri Nabi) meriwayatkan sebanyak 2210 Hadits.
e.         Abdullah bin Abbas, menurut kitab Ibn Jauzi meriwayatkan 1660 Hadits, dan             menurut kitab Musnad Imam Ahmad 1696 Hadits.
f.         Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1540 Hadits menurut Ibn Jauzi, dan 2019    Hadits menurut Imam Ahmad.
g.        Abu Sa’id Al Khudry Haditsnya 1170 menurut Ibn Jauzi dan 958 Hadits         menurut Imam Ahmad.
h.        Abdullah bin Mas’ud, sebanyak 848 Hadits menurut Ibn Jauzi dan 892 Hadits            menurut Imam Ahmad.
i.          Abdullah bin Amr bin Ash, Ibn Jauzi mengatakan 700 Hadits dan 722 Hadits             menurut Imam Ahmad.
Ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa pada Periode ketiga inilah timbulnya perpecahan dikalangan Ummat Islam karena soal Khalifah (pemerintahan/politik), sehingga terjadinya perang Saudara Ali dan Muawiyyah yang membawa banyak korban dikalangan Ummat Islam.
Dengan terjadinya fitnah ini mengakibatkan terpecahnya Ummat Islam kepada tiga golongan
1)      Khawarij, ialah golongan yang menentang Ali dan Muawiyyah.
2)      Syi’ah, ialah golongan yang sangat fanatik dan bahkan mengkultuskan Ali.
3)      Jumhur, ialah Ummat Islam yang tidak termasuk golangan satu dan dua.
Terpecahnya Ummat Islam kepada Golongan tersebut, maka masing-masing  berusaha untuk mencapai tujuan politiknya dan untuk mendapatkan pengaruh  serta dukungan dari ummat Islam, maka tidak segan-segan mereka membuat Hadist-Hadist palsu yang mereka sebarkan kepada Masyarakat.

D.  Periode keempat (Abad ke II H = 101 H – 200 H)


Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang    diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H, Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzah.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar- Al-Laits, Al-Auza’i, Malik, Ibn Ishaq, dan Ibn Abi Dzi’bin     untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-            Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadist atas anjuran Abu`Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
1. Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibn Juraij (80-150 H).
2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibn Ishaq (w. 150 H).
3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibrl Shabih (w. 160 H).
4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.).
5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)
6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7. Pengumpul pertama diYaman, Ma’mar al-Azdy (95-153 H)
8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).
            Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad    kedua Hijriah. Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah :
1. Al-Muwaththa’, susunan Imam Malik (95 H-179 H).
2. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3. Al-jami’, susunan Abdul Razzaq As-San’any (211 H)
4. Al-Mushannaf, susunan Sy’bah Ibn Hajjaj (160 H)
5. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn ‘Uyainah (198 H)
6. Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa’ad (175 H)
7. Al-Mushannaf, susunan Al-Auza’i (150 H)
8. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
9. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10. A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12. Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi’i (204 H).
13. Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi’i.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa’id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibn Uyainah, Syu’bah      Ibn Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza’i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan  Asy-Syafi’i.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu kalau pada abad kedua Hadist-Hadist             Nabi masih bercampur dengan fatwa shahabat dan Tabi’in, maka abad ketiga ini bangkitlah para Ulama untuk memisahkan Hadist Nabi dengan yang bukan Hadist     Nabi yang kemudian mereka susun dalam sebuah kitab Hadist. Dan telah berhasil pula mengadakan penyaringan yang sangat teliti terhadap apa yang dikatakan Hadist Nabi (teliti Matan dan Sanadnya). Masa ini disebut “masa penghimpunan mentashihkan Hadist”
 Pada masa ini lahir Kitab-Kitab Hadist yang dikemukakan diakui sebagai kitab Hadist yang Mu’tamad oleh Ummat Islam seperti :
a)             Al-Jami’us Shahih oleh Al-Bukhari (194 H – 256 H)
b)             Al-Jami’us Shahih Imam Muslim (204 H – 261 H)
c)              As-Sunan oleh Abu Daud (202 H – 276 H)
d)             As-Sunan oleh Tirmidzi (209 H – 269 H)
e)              As-Sunan Nasa’i (215 H – 303 H)
f)              As-Sunan Ibn Majah (209 H – 276 H).
Kitab-Kitab sunan yang empat ini dikenal dengan sebutan-sebutan “Kutubul Arba’ah). Sedangkan enam Kitab ini semuanya dikenal dengan “Kutubus Sittah”

F.   Periode keenam (masa Tahdzib, istidrak, istikhraj, menyusun Jawaami, Zawaaid dan Athraf)

Ulama-Ulama Hadist yang muncul pada abad II H dan III H digelari Ulama Mutaqaddimin. Mereka mengumpulkan hadist dengan usaha dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghafal Hadist yang tersebar di seluruh pelosok negara Arab, Persia dan lain-lain. Sedangkan Ulama-Ulama Hadist yang muncul pada abad IV H dan seterusnya diberi gelar Muta’akhkhirin. Kebanyakan Hadist yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin. Pada periode ini muncul kitab Shahih yang tidak terdapat dalam kitab Shahih Abad III H diantaranya adalah Ash-Shahih susunan ibn Huzaimah, At taqsim wa al-Anwa’ susunan ibn Hibban, Al Mustadrak susunan Al-hakim, Ash Shahih susunan Abu Awanah, Al-Muntaqa susunan ibn Jarud dan Al mukhtarah susunan Muhammad ibn Abd al wahid al Maqdisy.
Di antara usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama Hadist pada Abad ini adalah:
1. Mengumpulkan hadist Bukhari/ Muslim dalam sebuah kitab, seperti kitab Al-Jami’Bainas Shahihaini oleh Ismael ibn Ahmad (414H).
2. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam dengan urutan sebagai berikut:
a. Al Jami’ Al Shahih susunan Imam Bukhari
b. Al Jami’ Al Shahih susunan Imam Muslim
c. Al Sunan susunan Abu daud
d. Al Sunan susunan al Tirmidzi
e. Al Sunan susunan al Nasa’i
f. Al Sunan susunan ibn Majah.
3.    Mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab, diantaranya adalah Mashabih As Sunnah oleh Imam husain ibn Mas’ud al Baghawi (516H), Jami’ul Masanid wal Alqab oleh Abdurrahman ibn Ali al jauzy (597 H), Bahrul Asanid al Hafidh Al Hasan ibn Ahmad al-Samarqandi (491 H)
4. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab Athraf.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj dan istidrak. Istikhraj adalah mengambil suatu hadis dari Bukhari dan muslim misalnya, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri. Contoh : kitabnya adalah Mustakhraj shahih Al Bukhari oleh hafidh al Jurjany, Mustakhraj shahih Muslim oleh Al hafidh Abu Awanah. Sedangkan istidrak yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Contohnya : kitab Al-mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy.
Tokoh-Tokoh Hadist yang lahir para periode keenam ini antara lain ialah :  Ibn Hibban, Ad-Daruquthny, Ath-Thabrany, Al-Baihaqy, Ibn Athsir Al-Jazary dan lain-lain.

G. Periode ketujuh (656H – sekarang)

Setelah kota Baghdad jatuh pada tahun 656 H ketangan bangsa tartar, maka pindahlah pemerintahan Abbasiyyah ini ke Kairo Mesir, tapi Khalifahnya sebagai simbol saja, sementara yang berkuasa pada hakekatnya adalah Raja Mesir dari Mamalik, pada abad VIIH, bagian Barat (Maroko) dan sebagainya. Bahkan pada Abad pertengahan IXH, Turki dijaman pemerintahan Ottoman (Dinasti Ustmaniyyah) dijadikan ibu kotanya, kemudian menaklukkan Mesir dan melenyapkan Khalifah Abbasiyyah. Kemudian Khalifah Islamiyyah dipindah ke Kostantinopel (Istanbul), dan sejak ini Raja-Raja Mesir memakai gelar “Khalifah”. Negara Turki semakin kuat dan meluas, tetapi sangat disayangkan pada waktu yang bersamaan pemerintahan Islam diandalusia ( Spanyol) hancur. Dan padamlah cahaya Islam dinegeri itu yang pernah meneranginya hampir VIII abad. Kemudian imperialis barat dengan politik the vide et empera berhasil menaklukkan Daerah-Daerah/Negeri-Negeri Islam yang menyebabkan kemunduran ummat Islam. Ummat Islam tidak dapat lagi melakukan pengabdiannya kepada Agama dan masyarakat secara bebas, termasuk Ulama-Ulama sukar mengadakan kontek Contact (komunikasi) dengan Ulama-Ulama didaerah lain.
Dengan situasi dan kondisi seperti itu, menyebabkan para Ulama tidak bebas bergerak untuk menyampaikan dan menerima ajaran-ajaran Nabi secara langsung dengan lisan antara satu dengan yang lainnya. Karena itu penyampaian dan penerimaan Hadist-Hadist dilakukan dengan jalan surat menyurat dan ijazah (memberi ijin kepada murid untuk meriwayatkan Hadist-Hadist yang ditulis oleh seorang Guru dalam kitabnya).

            Ulama yang berbuat demikian antara lain :
A. Jainuddin Al-Iraqy (Wafat 806H).
B. Ibn Hajar (wafat 852H).
C. As-Sakhawi muridnya ibn Hajar

2.   MUNCULNYA HADIST PALSU


Kemunculan Hadits palsu dimulai bersamaan dengan terjadinya konflik intern dalam kubu umat Islam. Orang-orang yang terlibat dalam pertikaian konflik politik dalam kubu umat Islam itulah yang menjadi dalang dari kemunculan hadits-hadits palsu. Pertikaian tersebut bermula semenjak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, yang mengakibatkan kondisi kesatuan umat Islam menjadi kacau. Di kala itu, beberapa golongan yang merasa paling berhak menjadi penguasa yang menggantikan khalifah ketiga tersebut saling bertikai satu sama lain. Kondisi tersebut juga dimanfaatkan oleh para Yahudi yang berusaha menyusup untuk menperunyam keadaan. Puncak dari munculnya hadits palsu yaitu ketika terjadi konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Salah satu pihak saling memperkuat diri dengan menciptakan hadits palsu yang isinya seakan-akan mendukung pihak tersebut dan menjatuhkan pihak yang lain.
Pemicu munculnya hadits-hadits palsu tidak sebatas karena konflik politik saja, melainkan   ada faktor-faktor lain. Namun para ulama’ ahli hadits tidak tinggal diam atas munculnya peristiwa ini. Beberapa upaya dilakukan untuk mencegah hadits-hadits tersebt menyebarluas dan mengembalikan ajaran agama Islam ke arah yang sesungguhnya tanpa adanya unsur-unsur dusta dan ambisi belaka.

A. Pengertian Hadits Maudu’ (palsu)

Menurut bahasa maudu’ ialah :
1.    Yang diletakkan, dibiarkan
2.    Menggugurkan
3.    Meninggalkan
4.    Berita bohong yang dibuat-buat
Menurut ‘ulama hadits
الخبر المختلع الموضوع اي ما يكون الطعن فيه بكذب الروي
Artinya : “ Hadits yang dibuat-buat yakni hadits yang ada cacat padanya dengan sebab rawi yang pendusta

هو المختلع الموضوع المنسوب الى رسول الله زورا وبهتانا سواء كان ذلك عمدا أوخطأ
Artinya : “ Hadits yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaanya itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik hal ini disengaja atau tidak “

B. Ciri-ciri Hadits Maudu’


Para Muhadditsin menyebutkan menyebutkan dua cara untuk mengetahui hadits Maudu’, yaitu :
1)      Dari aspek sanad :
1.    Pengakuan dari si pembuat sendiri
2.    Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudu’, misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya
3.    Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
2)      Dari aspek hukum
1.      Rusaknya makna karena berlawanan dengan hal-hal yang sudah dipahami dan tak dapat pula kita takwilkan, dan lain-lain
2.      Rakakah Makna, yaitu pada susunan lafadznya sangat jelek

C.  Motif-motif yang mendorong pemalsuan hadits

Diantara motif pemalsu hadits :
1)      Mempertahankan ideologi golongannya sendiri dan menyerang para lawannya
2)      Karena kefanatikan dan kultus individu terhadap imam madzhab mereka
3)      Perbuatan kaum zindiq
4)      Tukang-tukang cerita yang ingin menarik perhatian pendengar
5)      Mempertahankan Madzhab dalam masalah khilafiyah Fiqhiyah dan Kalamiyah
6)      Ada motif mendekat kepada penguasa[3]

3.   UPAYA PENYELAMATAN HADIST DARI HADIST PALSU


Adapun usaha-usaha yang dilakukan para ulama dalam rangka memelihara sunnah dan membersihkannya dari pemalsuan hadits yaitu dengan :
a)      Mengisnadkan Hadits
Setelah terjadinya fitnah dikalangan umat Islam dan mulai bertebarannya hadits palsu, maka para sahabat dan tabi’in mulai berhati-hati dalam menerima hadits dari rawi-rawinya dengan cara meminta sanad kepada yang menyampaikan hadits tersebut
b)      Meningkatkan perlawanan mencari hadits
Mereka meningkatkan perlawanan mencari hadits dari suatu kota ke kota yang lain untuk menemui para shahabat yang meriwayatkan hadits
c)      Mengambil tindakan terhadap para pemalsu hadits
Dalam rangka berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari mereka menumpas para pemalsu hadits, melarang mereka meriwayatkannya dan menyerahkannya kepada penguasa
d)     Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya
Untuk kepentingan penyeleksian hadits, maka lalu membuat ketentuan-ketentuan untuk menetapkan sifat-sifat rawi yang dapat diambil, ditulis atau diriwayatkan hadits-haditsnya.
e)      Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits yaitu shahih, hasan dan dha’if
f)       Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudu’ pada sanad atau matan[4]
Selain dengan mengumpulkan hadits-hadits shahih, untuk menjaga keaslian hadits-hadits Nabawi dari tercampuraduknya dengan hadits maudhu’, dilakukan juga penghimpunan hadits-hadits Maudhu’ tersebut menjadi sebuah kitab. Adapun karya-karya ulama’ hadits yang berisi tentang hadits Maudhu’ antara lain :
·         Kitab Al-Maudhu’at, karya Imam al-Hafidz abi al-Farj Abdurrahman ibn al-Jauziy. Merupakan buku pertama dan terpopuler yang membahas tentang hadits palsu. Namun, karya ini juga menuai banyak kritik akibat banyak hadits yang belum terbukti kepalsuannya, juga karena beliau juga memasukkan hadits hasan bahkan hadits shahih ke dalam buku ini.
·         Kitab Al-La ali’ al-Mashnu’ah fi al-Hadits al-Maudhu’ah, karya al-Hafidz Jalaluddin ash-Shuyuti. Merupakan revisi dari karya al-Jauziy sebelumnya.
·         Kitab Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Hadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah, karya al-Hafidz abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Iraq al-Kanani. Kitab ini juga merupakan revisi dari kitab al-Jauziy. Dalam kitab ini, merevisi tiga hal dalam kitab sebelumnya, yaitu : hanya meletakkan hadits Maudhu’ yang disepakati oleh para ulama’ hadits kemaudhu’annya, meletakkan secara khusus hadits-hadits Maudhu’ yang belum disepakati kemaudhu’annya, serta menambahkan hadits-hadits Maudhu’ yang belum ada pada kitab sebelumnya. Selain itu, dalam kitab ini juga mencantumkan nama perawi yang menjadi pemalsu hadits.


BAB III

PENUTUP

A.   KESIMPULAN

1)      Secara umum sejarah perkembangan hadits dapat dibagi dalam 7 periode, yaitu


2) Hadits palsu muncul setelah terjadi fitnah perpecahan di kalangan umat Islam kepada beberapa golongan, karena masing-masing golongan untuk mempertahankan ideologinya ada diantara pengikutnya berani membuat dan memalsukan hadits

3) Upaya penyelamatan ulama  atas munculnya hadits-hadits palsu, diantaranya dengan mengklasifikan hadits menjadi shahih, hasan, dan dha’if; menjelaskan sifat-sifat para perawi, menindak para pemalsu hadits, dan mengumpulkan serta membukukan hadits-hadits shahih juga hadits-hadits maudu’








DAFTAR PUSTAKA


1.      Abu Abd. Allah Muhammad ibn Abd Allah Al-Naisaburi. T.th. Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis. Kairo : Maktabah al-Matnabi.
2.      Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. 2001. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
3.      Ath-Thahhan, Mahmud. 1997. Taysir Mushtholah al-Hadits. Riyadh : Maktabah al-Ma’arif.
4.      Aziz, Mahmud, Mahmud Yunus. T.th. Ilmu Musthalah Hadits. Jakarta: PT. Jaya Murni.
5.      Hanafiyah, M. Muhri, Ulumul Hadits, STAI Darussalam Martapura, 2012.
6.      Hanafiyah, M. Muhri, Pengantar Study Sumber Hukum Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Martapura. Banjarmasin. 2007
7.      Ichwan, Mohammad Nor.  2007. Studi Ilmu Hadis. Semarang : RaSAIL Media Group.
8.      Ichwan, Mohammad Nor. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Semarang : Rasail Media Group.
9.      Ismail, Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:Angkasa Bandung.
10.  Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah. Bandung : Bulan Bintang.
11.  Saputra, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada.
12.  Sholahudin, M, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung : CV. Pustaka Setia.



[1]) Hanafiyah, M. Muhari, Pengantar Study Sumber Hukum Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Martapura. Banjarmasin. 2007
[2] Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah. Bandung : Bulan Bintang.

[3] Drs. H. Hanafiyah, M. Hum dan Drs. H. Muhri, M. Ag, Ulumul Hadits, STAI Darussalam Martapura, 2012.
[4] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar