MATA KULIAH
DOSEN PEMBIMBING
Ulumul Hadits Drs. H. M. Hanafiyah, M. Hum
SEJARAH
PERKEMBANGAN, PEMBUKUAN,
DAN
PEMBINAAN HADITS
|
OLEH
KELOMPOK 1
1.
ABD. HAFIDZ ASSOUFI :
13.12.3150
2.
ABD. WAHAB SYA’RANI :
13.12.3151
3.
ADI ISWANDI :
13.12.3152
4.
AHMAD ATHOILLAH : 13.12.3153
5.
AHMAD FAUZI :
13.12.3154
6.
AHMAD JAZULI : 13.12.3155
7.
AHMAD SHALEHIN : 13.12.3156
8.
JIBIL A JAMI :
13.12.3399
FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUSSALAM MARTAPURA
1435 H / 2014 M
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي رفع الدرجات لمن انخفض لجلاله *
وفتح البركات لمن انتصب لشكر افضاله * وأسكن الجنات لمن عرفه حق معرفته * والصلاة
والسلام على من جزم بأنه أفضل الخلق كله * وعلى آله وأصحابه الذين بنوا أحوالهم
على اتباع سنته * ومن تبعهم بإحسان الى يوم يرجعون فيه *
Segala puji
hanya milik Allah yang telah melimpahkan segala karunianya yang tidak
terhingga, khususnya ni’mat Iman dan Islam, yang dengan keduanya diperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sholawat dan
Salam semoga selalu tercurah atas Baginda Nabi Muhammad SAW, dan atas keluarga
dan sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka itu
hingga akhir zaman.
Dengan
mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT makalah ini telah dapat kami
selesaikan, dengan tema yang telah ditentukan. Tidak lupa kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. H. M. Hanafiyah, M. Hum
sebagai Dosen Pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits, atas
bimbingannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu
Terima kasih
pula kami ucapkan kepada rekan-rekan khususnya dari kelompok 1, atas segala
bantuannya.
Akhirnya, kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, dan penuh dengan kekurangan,
mudah-mudahan bisa lebih disempurnakan lagi di masa-masa mendatang.
Akhirnya semoga
pekerjaan kita ini diberi pahala oleh Allah SWT. Amiin.
Martapura,
April 2014 Penyusun
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT memberi keistimewaan umat ini, umat akhir zaman, umat
terbaik, umat Nabi Besar Muhammad SAW dengan berbagai keutamaan yang tidak
diberikan-Nya kepada umat-umat lain sebelumnya, diantara keistimewaan itu
adalah ketersinambungan perkataan-perkataan dan tingkah laku Nabi mereka yaitu
Nabi Muhammad SAW yang dipindah dari satu generasi kepada generasi sesudahnya
tanpa terputus. Tidaklah ada sebuah riwayat yang dikaitkan kepada Nabi Muhammad
SAW melainkan ada juga bagi itu riwayat sebuah jalur periwayatan dari orang
yang menyampaikan terus ke atasnya hingga Nabi Muhammad SAW. Jalur periwayatan
ini disebut sanad atau isnad. Dari sanad inilah sebuat riwayat yang berkaitan
dengan Nabi Muhammad dapat dinilai, apakah bisa diterima atau ditolak,
tergantung kualitas orang yang meriwayatkannya, dinilai dari sudut pandang
agama.
Sumber hukum utama setelah Al-Quran adalah Assunnah yaitu Hadits
Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Al-Quran dan ilmu-ilmu yang lain, Hadits juga
memiliki sejarah, dan perjalanan perkembangan yang panjang. Perjalanan sejarah
keilmuan ini membentuknya menjadi sebuah ilmu yang matang dan baku sehingga
segala hal yang berhubungan dengannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.
Pada makalah ini kami akan berusaha membahas
tentang sejarah dan perkembangan hadits nabawiy dari masa ke masa. Juga tentang
munculnya hadits-hadits palsu, serta upaya para ulama mengatasinya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits?
2. Bagaimana sejarah munculnya hadits-hadits palsu?
3. Bagaimana upaya penyelamatan ulama hadits atas munculnya hadits-hadits palsu?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui sejarah perkembangan hadits?
2. Mengetahui sejarah munculnya hadits-hadits palsu?
3. Mengetahui upaya penyelamatan ulama hadits atas munculnya hadits-hadits palsu
BAB II
PEMBAHASAN
1. SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
A. Periode pertama (masa Rasulullah SAW)
Semasa
Rasulullah SAW masih hidup, para shahabat dapat bergaul bersama Nabi di rumah,
di mesjid, di pasar, di jalan, dalam perlayaran (musafir), dan tempat-tempat
lainnya. Seluruh perbuatan Nabi, ucapan dan tindakan tanduk beliau menjadikan
tumpuan perhatian para shahabat. Segala gerak-gerik beliau mereka jadikan
pedoman hidup mereka.
Para shahabat
menerima hadist (syari’at) dari Rasulullah SAW adakalanya secara langsung,
yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal
yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri
yang memulai sendiri pembicaraannya. Tetapi adakalanya mereka menerima secara
tidak langsung dari Nabi, baik mereka terima dari shahabat yang mendengar
langsung, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka
sendiri malu untuk bertanya.
Semua shahabat,
umumnya menerima hadist dari Nabi SAW kendati mereka tidak sederajat dalam
mengetahui keadaan Rasulullah SAW. Diantara para shahabat yang banyak menerima
pelajaran dari Nabi SAW :
a)
Yang
mula-mula masuk Islam, yang dimuat (As Sabiqunal Awwalun) seperti Khulafaur Rasyidin
dan Abdullah ibnu Mas’ud.
b)
Yang
selalu ada disamping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya seperti : Abu
Hurairah RA, dan yang mencatat seperti : Abdullah ibn Amr ibn Ash.
c)
Yang
lama hidupnya sesudah Nabi, sehingga dapat menerima hadist dari sesama shahabat
seperti : Anas bin Malik dan Abdullah ibn Abbas.
d)
Yang
erat perhubungannya dengan Nabi, yaitu Ummahatul Mu`minin seperti : Sayyidatina
‘Aisyah binti Abi Bakar RA dan Ummu Salamah.[1]
Keadaan hadist
pada masa Nabi belum dibukukan. Karena ada larangan penulisan hadist dari Nabi
dengan sabdanya :
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ
فَلْيَمْحُهُ (رواه مسلم)
Artinya : “Jangan
kalian tulis apa-apa yang datang dari aku, barangsiapa yang menulis dari aku
selain Al-Qur’an, hendaklah menghapusnya.” (HR. Muslim)
Larangan
penulisan hadist ini memang ada hikmahnya yaitu :
1)
Berhubung
pada waktu itu shahabat-shahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca
tulis), sedangkan pada waktu itu Wahyu Ilahi masih turun, sehingga Nabi
mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan antara Al-Qur’an dan
Hadist.
2)
Nabi
percaya atas kekuatan hafalan para shahabatnya dan kemampuan mereka untuk
memelihara ajarannya (Hadist) dan ini berarti Nabi secara tidak langsung mendidik
mereka untuk percaya kepada kemampuan diri sendiri.
Tetapi
disamping ada larangan menulis hadist seperti tersebut diatas, ada juga hadist
Nabi yang memerintahkan/membolehkan menulis hadist sebagaimana hadist Nabi SAW
riwayat Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash RA :
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أُكْتُبْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّيْ إِلَّا حَقٌّ (رواه أحمد وأبو داود)
Artinya : “Tulislah
apa yang datang dari aku, Demi Zat yang menguasai diriku didalam kekuasaan-Nya,
tidak keluar dari mulutku melainkan yang benar.”(HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dalam
menghadapi hadist yang nampaknya berlawanan itu ada beberapa pendapat. Kebanyakan
Ulama berpendapat bahwa : Hadist yang melarang penulisan hadist itu telah dinasakh
oleh hadist yang kedua (yang membolehkan). Sebagian Ulama yang lain berpendapat
bahwa larangan menulis hadist itu ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan
akan mencampur adukkan hadist dengan Al-Qur’an. Sedang keizinan menulis hadist
ditujukan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampur adukkan hadist
dengan Al-Qur’an.
Mereka juga
mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan antara hadist yang berisi
larangan dengan hadist yang berisi keizinan. Larangan disini maksudnya ialah
larangan dalam bentuk pembukuan resmi sebagaimana pembukuan (pentadwinan)
Al-Qur’an, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis hadist
secara pribadi.
B. Periode kedua (masa Khulafaur Rasyidin 10 – 40 H)
Periode sejarah perkembangan hadist kedua adalah masa shahabat, khususnya Khulafa
al-Rasyidin. Periode ini juga dikenal dengan Zaman al-tatsabbut wa al-iqlal min
al-Riwayah yang berarti periode membatasi hadist dan menyedikitkan riwayat.
Hal ini disebabkan karena para shahabat
pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an. Sehingga hadist kurang mendapatkan perhatian, bahkan mereka berusaha
untuk bersikap otoriter dan membatasi dalam meriwayatkan hadist.
Sikap ini disebabkan adanya kekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan
dalam meriwayatkan hadist. Karena hadist merupakan sumber tasyri’ kedua setelah
Al-Qur’an yang harus dijaga keaslianya dan keabsahannya sebagaimana penjagaan
terhadap Al-Qur’an.
1. Abu Bakar ash-Shiddiq
حَدَّثَنِي
يَحْيَ عَنْ مَالِك عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَان بْنِ إِسْحَقَ بْنِ
خَرْشَةَ عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ اْلجَدَّةَ اِلَى
اَبِيْ بَكْرٍ الصِدِّيْقِ تَسْأَلُهُ مِيْرَاثَهَا فَقَالَ لَهَا اَبُو بكْرِ
مَالَكِ فِيْ كِتَابِ اللهِ شَيْئٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَاْرجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ
النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيْرَةُ بْنُ شُعْبَةَ خَضَرْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الَّله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْطَاهَاالسُّدُسَ فَقَالَ
اَبُوْ بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ
الْاَنْصَارِيُّ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيْرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا اَبُو
بَكْرٍ الصِّدِّيْق
Artinya : “Dari Qabishah bin Dzu’aib Bahwasanya ia berkata :
ketika Abu Bakar ash-Shiddiq didatangi seorang nenek yang menanyakan bagian
warisnya, beliau menjawab :”Dalam kitabullah tidak terdapat bagian untukmu, dan
sepengetahuan saya dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada. Silahkan kemari
esok lusa , saya akan menanyakan hal itu kepada orang-orang.” Lalu Abu Bakar
menanyakan kepada orang-orang. Diantara yang menjawab adalah al-Mughirah bin
Syu’bah, Katanya :”saya pernah menghadap Rasulullah Saw, beliau menentukan
bagian seperenam untuk nenek.” Abu Bakar lalu menanyainya : “apakah ketika kamu
menghadap Rasulullah Saw kamu bersama orang lain?”. Maka Muhammad bin Maslamah
al-Anshari bangkit dari duduknya dan berkata seperti yang dikatakan
al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian seperenam untuk nenek.”
Berdasarkan riwayat diatas, pada masa pemerintahan Abu Bakar
periwayatan hadist dilakukan dengan sangat hati-hati, tidak sembarangan
menerima begitu saja riwayat suatu hadist, sebelum meneliti terlebih dahulu
periwayatannya.
Sikap beliau tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan kongkrit
beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadist yang dimilikinya.
Disebabkan karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadist.
Tidak heran jika jumlah hadist yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal,
jika dilihat dari keadaan atau ukuran beliau bersama Nabi, beliaulah yang
paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum hijrah ke Madinah hingga
Nabi wafat.
Menurut Syuhudi Ismail, terdapat tiga faktor yang menyebabkan
sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadist, yaitu :
a. Selalu sibuk saat
menjabat sebagai khalifah.
b. Kebutuhan hadist tidak
sebanyak pada zaman sesudahnya.
2. Umar bin Khattab
Sikap hati-hati yang
dilakukan oleh Abu Bakar juga diikuti oleh Umar bin Khattab. Beliau tidak mau
menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya,
untuk membuktikan kebenaran Hadits tersebut benar-benar Nabi SAW pernah
mengatakannya. Sebagaimana Hadits dibawah ini :
عَنْ أَبِيْ
سَعِيْد الخُدْرِي قَالَ كُنْتُ فِيْ مَجْلِسِ مِنْ مَجَالِسِ اْلأَنْصَارِ
إِذْجَاءَ أَبُوْ مُوْسَى كَأَنَّهُ مَذْعُوْرٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى
عُمَرَ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ
اسْتَأْذَنْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ فَرَجَعْتُ وَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الَّله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنْ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ
فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ وَاللهِ لَتُقْيِمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ أَمِنْكُمْ
أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنَ الَّنبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَاللهِ لَا يَقُوْمُ مَعَكَ إِلَّا أَصْغَرُ الْقَوْمِ
فَكُنْتُ أَصْغَرَ اْلقَوْمِ فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ ذَلِكَ
Artinya : “Abu Sa’id al-Khudry berkata : aku sedang berada di
salah satu majelis kaum Anshar. Kemudian datang Abu Musa, seakan-akan sedang
merasa kesal, lalu berkata : aku meminta izin bertemu sebanyak tiga kali,
tetapi tidak diberi izin. Kemudian aku kembali saja.” Lalu ia berkata :
“mengapa engkau tidak jadi masuk?” aku menjawab : “aku telah meminta izin
sebanyak tiga kali tetapi tidak diberi izin , sehingga aku kembali.” Rasulullah
pernah bersabda : “bila seseorang diantara kamu meminta izin (untuk bertamu),
tetapi tidak diizinkan, maka sebaiknya ia kembali saja.’ Lalu Umar berkata :
“Demi Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas apa yang kau katakan itu.”
Adakah salah seorang di antara kamu yang mendengarnya dari Nabi SAW? Lalu Ubay
bin Ka’ab berkata : “demi Allah, tidaklah berdiri bersamamu kecuali yang
terkecil di antara kaummu. Aku lah yang terkecil itu. Lalu aku berdiri
bersamanya. Aku beri tahu kepada Umar bahwa Nabi SAW memang mengatakan seperti
diatas.” (HR. Bukhari)
Bahkan pada masa
kekhalifahanya Umar meminta dengan keras supaya menyelidiki riwayat. Tidak membenarkan
hingga melarang para sahabat untuk meriwayatkan Hadits, dan menekankan agar para
sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an dan
mengembangkan kebagusan tajwidnya.
Larangan tersebut
dimaksudkan sebagai peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam
meriwayatkan Hadits, dan supaya perhatian mereka terhadap Al-Qur’an tidak
terganggu. Karena pada masa itu naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas
jumlahnya dan belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam.
Menurut ‘Ajjaj al-Khattib,
mengutip pernyataan al-Khatib al-Baghdadi, sebab-sebab dilarangnya para sahabat
menulis Hadits pada periode awal yaitu :
a. Kekhawatiran mereka
akan diabaikanya Al-Qur’an.
b. Mayoritas orang Arab
saat itu belum faham betul mengenai agama dan belum membudayakan musyawarah
bersama kaum Ulama.
c. Untuk menghindarkan
kekeliruan dalam meriwayatkan Hadits, dan menghalangi orang-orang yang tidak
bertanggung jawab melakukan pemalsuan Hadits.
3. Utsman bin Affan
Pada masa Utsman bin
Affan, periwayatan Hadits dilakukan dengan tetap menjaga sikap hati-hati. Hanya
saja tidak setegas apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Sikap Utsman
tersebut dapat dilihat ketika beliau sedang berkhutbah, meminta kepada para
sahabat agar tidak banyak meriwayatkan Hadits yang tidak pernah mereka dengar
pada zaman Abu Bakar dan Umar.
Meskipun melalui
khutbahnya telah menyampaikan seruan agar tidak banyak meriwayatkan Hadits,
ternyata pada zaman ini, kegiatan periwayatan Hadits telah banyak bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya.
Hal ini dikarenakan pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar dan karena
wilayah Islam semakin luas yang mengakibatkan sulitnya pengendalian kegiatan
periwayatan Hadits secara ketat.
4. Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali tidak jauh
berbeda dengan khalifah sebelumnya. Tetap berhati-hati dalam meriwayatkan
Hadits. Ali baru bersedia menerima suatu riwayat apabila periwayat Hadits
tersebut mengucapkan sumpah, bahwa Hadits yang disampaikan tersebut benar-benar
berasal dari Nabi. Tetapi tidak pada orang-orang yang benar-benar
dipercayainya, seperti Abu Bakar.
Ali tidak meminta
beliau untuk bersumpah karena telah benar-benar diyakini periwayatannya tidak
mungkin keliru. Seperti dalam suatu riwayat, Ali menyatakan : “Abu Bakar telah
memberitakan Hadits Nabi kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu...”. Ahmad bin
Hanbal telah meriwayatkan Hadits Nabi melalui riwayat Ali bin Abi Thalib
sebanyak lebih dari 780 Hadits. Sehingga dalam Musnad Ahmad, Ali bin abi Thalib
adalah periwayat yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah
pendahulunya. Hal ini disebabkan oleh sebagian matan dari Hadits tersebut
berulang-ulang karena perbedaan sanadnya.
Pada masa kekhalifahan
Utsman dan Ali bin Abi Thalib telah terjadi pergolakan politik, yang mendorong
orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan Hadits. Hadits
yang beredar makin bertambah banyak. Berbeda jauh bila dibandingkan dengan
khalifah-khalifah sebelumnya. Maka, untuk mendapatkan Hadits dengan kualitas
shahih, dibutuhkan penelitian yang mendalam dari segi periwayatan maupun
matannya.
C. Periode ketiga (Masa Shahabat kecil dan Tabi’in Besar)
Periode sejarah dan
perkembangan Hadits yang ketiga adalah masa memperbanyak periwayatan atau
dikenal sebagai Ashru Iktsar Riwayat al-Hadits. Periode ini terjadi pada
masa sahabat kecil atau zaman tabi’in besar. Pada masa ini daerah Islam sudah
meluas hingga negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada tahun 93 H
tentara Islam berhasil menaklukkan Spanyol.
Pada periode ini umat Islam telah mulai mencurahkan perhatiannya terhadap
periwayatan Hadits. Hal ini disebabkan :
a) Al-Qur’an telah dikodifikasikan.
b) Peristiwa-peristiwa yang dihadapi umat Islam semakin banyak. Dan memerlukan
petunjuk-petunjuk dari Hadits-Hadits Rasulullah yang lebih banyak lagi,
disamping petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an.
c) Meninggalnya para shahabat, dan sahabat yang masih hidup banyak yang
berpencar ke daerah-daerah.
Sedangkan cara umat Islam
meriwayatkan Hadits pada periode ini yaitu :
a) Para sahabat lebih berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadits.
Demikian pula para tabi’in. Karena pada periode ini pemalsuan Hadits dari
orang-orang yang tidak bertanggung jawab semakin banyak.
b) Bentuk periwayatan Hadits pada periode ini, masih sama dengan periode
sebelumnya, yaitu dengan cara :
1) Dari mulut ke mulut.
2) Periwayatan dilakukan dengan lafdziyah dan ma’nawiyah.
3) Bersandar kepada ingatan dan hafalan.
Meluasnya wilayah Islam dan mulai banyaknya periwayatan Hadits, menyebabkan munculnya pusat-pusat pembinaan Hadits
dan sahabat yang banyak meriwayatkan Hadits (bendaharawan Hadits).
Pusat-Pusat Pembinaan Hadits
a. Madinah
Tokoh-Tokoh dari kalangan shahabat : Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum
pindah ke Kuffah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibn
Umar, Sa’id al-Khudry dan Zaid bin Tsabit.
Tokoh-tokoh dari
kalangan tabi’in : Sa’id bin al-Musayyab (93H), Urwah bin al- Zubair (94H), Ibn Syihab al-Zuhri, Ubaidillah bin Urbah bin Mas’ud dan Salim bin Abdillah bin Umar (94H).
b. Makkah
Tokoh–Tokoh dari
kalangan shahabat : Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Abbas, Haris bin Hisyam, Atab bin Asid.
Tokoh-tokoh dari
kalangan tabi’in : Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Abul Zubair Muhammad bin Muslim.
c. Kuffah
Tokoh-tokoh dari
kalangan sahabat : Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid.
Tokoh-tokoh dari
kalangan tabi’in : Asy Sya’by, ibrahim An Nakha’iy, Al-Qamah An-Nakha’iy.
d. Bashrah
Tokoh-tokoh dari
kalangan shahabat : Anas bin Malik, Uthbah, Imran bin Husain, Abu Barzah,
Abu Bakrah, Ma’qil bin Yasar.
Tokoh-tokoh dari
kalangan tabi’in : Al-Hasan, Muhammad ibn Sirrin, Qatadah.
e. Syam
Tokoh-tokoh dari
kalangan shahabat : Ubadah bin Shamit dan Abu Darda’
Tokoh-tokoh dari
kalangan tabi’in : Umar ibn abdul Aziz, Qabisyah ibn Dzuaib, Makhul Ka’bul
Akhbar.
f. Mesir
Tokoh-tokoh dari
kalangan sahabat : kharijah bin hudzaifah, Uqbah bin Amir, Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz,
Abu Basyrah.
Tokoh-tokoh dari kalangan
tabi’in : Abul Khair Mursyad ibn Abdullah al-Yazimy dan Yazid bin ibn Habib Thaus ibn Kaisyam Al-Yamani, Wahab ibn
Munabbih (110H).
Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Haditst
a.
Abu Hurairah, menurut Ibn Jauzi
dalam Talqih Fuhumi al-Atsar, meriwayatkan Hadits
dari Rasulullah sebanyak 5347 Hadits. Dalam kitab Musnad Imam Ahmad sebanyak 3848 Hadits. Menurut
perhitungan al-Kirmany 5364 buah Hadits. 352 Hadits
disepakati oleh Bukhari Muslim (muttafaq ‘alaih), Imam Bukhari sendiri 93 Hadits dan Imam Muslim sendiri 139
Hadits.
b. Abdullah bin Umar, meriwayatkan 2630
Hadits menurut ibn Jauzi. Menurut Imam
Ahmad dalam Kitab Musnad 2019 Hadits. Muttafaq ‘alaih mentakhrij sebanyak 170 Hadits, Imam Bukhari 80 Hadits dan 31
Hadits oleh Imam Muslim.
c.
Anas bin Malik meriwayatkan 2286
Hadits. Dari Anas bin Malik muttafaq ‘alaih
mentakhrij sebanyak 168 Hadits. Oleh Imam Bukhari sendiri sebanyak 8 Hadits dan oleh Imam Muslim sebanyak 70 Hadits.
d.
‘Aisyah binti Abu Bakar (isteri Nabi) meriwayatkan sebanyak 2210
Hadits.
e.
Abdullah bin Abbas, menurut kitab Ibn
Jauzi meriwayatkan 1660 Hadits, dan menurut
kitab Musnad Imam Ahmad 1696 Hadits.
f.
Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1540
Hadits menurut Ibn Jauzi, dan 2019 Hadits
menurut Imam Ahmad.
g. Abu Sa’id Al Khudry Haditsnya 1170 menurut
Ibn Jauzi dan 958 Hadits menurut
Imam Ahmad.
h. Abdullah bin Mas’ud, sebanyak 848 Hadits
menurut Ibn Jauzi dan 892 Hadits menurut
Imam Ahmad.
i.
Abdullah bin Amr bin Ash, Ibn Jauzi mengatakan
700 Hadits dan 722 Hadits menurut
Imam Ahmad.
Ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa pada Periode ketiga inilah
timbulnya perpecahan dikalangan Ummat Islam karena soal Khalifah
(pemerintahan/politik), sehingga terjadinya perang Saudara Ali dan Muawiyyah
yang membawa banyak korban dikalangan Ummat Islam.
Dengan terjadinya
fitnah ini mengakibatkan terpecahnya Ummat Islam kepada tiga golongan
1) Khawarij, ialah golongan yang menentang Ali dan Muawiyyah.
2) Syi’ah, ialah golongan yang sangat fanatik dan bahkan mengkultuskan Ali.
3) Jumhur, ialah Ummat Islam yang tidak termasuk golangan satu dan dua.
Terpecahnya Ummat Islam
kepada Golongan tersebut, maka masing-masing berusaha untuk mencapai tujuan politiknya dan
untuk mendapatkan pengaruh serta
dukungan dari ummat Islam, maka tidak segan-segan mereka membuat Hadist-Hadist
palsu yang mereka sebarkan kepada Masyarakat.
D. Periode keempat (Abad ke II H = 101 H – 200 H)
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah.
Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis,
baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW. Masa
pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H, Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar
bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang
meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam
buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan
lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam
barzah.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada
Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi
guru Ma’mar- Al-Laits, Al-Auza’i, Malik, Ibn Ishaq, dan Ibn Abi Dzi’bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat
pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad
Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98
H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad
Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah
seorang fuqaha Madinah yang tujuh.
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di
bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di
wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas
kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab
Az- Zuhri, seorang tabiin yang
ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah ulama yang mula-mula
membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad
Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar
dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadist atas anjuran
Abu`Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan
nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
1. Pengumpul pertama di
kota Mekah, Ibn Juraij (80-150 H).
2. Pengumpul pertama di
kota Madinah, Ibn Ishaq (w. 150 H).
3. Pengumpul pertama di
kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibrl Shabih (w. 160 H).
4. Pengumpul pertama di
Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.).
5. Pengumpul pertama di
Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)
6. Pengumpul pertama di
Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7. Pengumpul pertama
diYaman, Ma’mar al-Azdy (95-153 H)
8. Pengumpul pertama di
Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9. Pengumpul pertama di
Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
10. Pengumpul pertama
di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari
ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini,
jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah
:
1. Al-Muwaththa’, susunan
Imam Malik (95 H-179 H).
2. Al-Maghazi wal
Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3. Al-jami’, susunan
Abdul Razzaq As-San’any (211 H)
4. Al-Mushannaf,
susunan Sy’bah Ibn Hajjaj (160 H)
5. Al-Mushannaf,
susunan Sufyan ibn ‘Uyainah (198 H)
6. Al-Mushannaf,
susunan Al-Laits Ibn Sa’ad (175 H)
7. Al-Mushannaf, susunan
Al-Auza’i (150 H)
8. Al-Mushannaf,
susunan Al-Humaidy (219 H)
9. Al-Maghazin
Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10. A1-Musnad, susunan
Abu Hanifah (150 H).
11. Al-Musnad, susunan
Zaid Ibn Ali.
12. Al-Musnad, susunan
Al-Imam Asy-Syafi’i (204 H).
13. Mukhtalif Al-Hadis,
susunan Al-Imam Asy-Syafi’i.
Tokoh-tokoh yang
masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa’id AI-Qaththan, Waki
Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibn Uyainah, Syu’bah Ibn Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza’i, Al-Laits, Abu
Hanifah, dan Asy-Syafi’i.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu kalau pada abad kedua Hadist-Hadist Nabi masih bercampur dengan fatwa
shahabat dan Tabi’in, maka abad ketiga ini bangkitlah para Ulama untuk
memisahkan Hadist Nabi dengan yang bukan Hadist Nabi yang kemudian mereka susun dalam sebuah kitab Hadist. Dan
telah berhasil pula mengadakan penyaringan yang sangat teliti terhadap apa yang
dikatakan Hadist Nabi (teliti Matan dan Sanadnya). Masa ini disebut “masa
penghimpunan mentashihkan Hadist”
Pada masa ini lahir Kitab-Kitab
Hadist yang dikemukakan diakui sebagai kitab Hadist yang Mu’tamad oleh Ummat Islam
seperti :
a)
Al-Jami’us Shahih oleh Al-Bukhari (194 H – 256 H)
b)
Al-Jami’us Shahih Imam Muslim (204 H – 261 H)
c)
As-Sunan oleh Abu Daud (202 H – 276 H)
d)
As-Sunan oleh Tirmidzi (209 H – 269 H)
e)
As-Sunan Nasa’i (215 H – 303 H)
f)
As-Sunan Ibn Majah (209 H – 276 H).
Kitab-Kitab sunan yang
empat ini dikenal dengan sebutan-sebutan “Kutubul Arba’ah). Sedangkan enam
Kitab ini semuanya dikenal dengan “Kutubus Sittah”
F. Periode keenam (masa Tahdzib, istidrak, istikhraj, menyusun Jawaami, Zawaaid dan Athraf)
Ulama-Ulama Hadist yang
muncul pada abad II H dan III H digelari Ulama Mutaqaddimin. Mereka
mengumpulkan hadist dengan usaha dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para
penghafal Hadist yang tersebar di seluruh pelosok negara Arab, Persia dan
lain-lain. Sedangkan Ulama-Ulama Hadist yang muncul pada abad IV H dan
seterusnya diberi gelar Muta’akhkhirin. Kebanyakan Hadist yang mereka kumpulkan
adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin. Pada periode ini
muncul kitab Shahih yang tidak terdapat dalam kitab Shahih Abad III H
diantaranya adalah Ash-Shahih susunan ibn Huzaimah, At taqsim wa al-Anwa’
susunan ibn Hibban, Al Mustadrak susunan Al-hakim, Ash Shahih susunan Abu
Awanah, Al-Muntaqa susunan ibn Jarud dan Al mukhtarah susunan Muhammad ibn Abd
al wahid al Maqdisy.
Di antara usaha-usaha
yang dilakukan oleh ulama Hadist pada Abad ini adalah:
1. Mengumpulkan hadist
Bukhari/ Muslim dalam sebuah kitab, seperti kitab Al-Jami’Bainas Shahihaini
oleh Ismael ibn Ahmad (414H).
2. Mengumpulkan
hadis-hadis dalam kitab enam dengan urutan sebagai berikut:
a. Al Jami’ Al Shahih
susunan Imam Bukhari
b. Al Jami’ Al Shahih
susunan Imam Muslim
c. Al Sunan susunan Abu daud
d. Al Sunan susunan al Tirmidzi
e. Al Sunan susunan al Nasa’i
f. Al Sunan susunan ibn Majah.
3. Mengumpulkan
hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab, diantaranya adalah Mashabih As
Sunnah oleh Imam husain ibn Mas’ud al Baghawi (516H), Jami’ul Masanid wal Alqab
oleh Abdurrahman ibn Ali al jauzy (597 H), Bahrul Asanid al Hafidh Al Hasan ibn
Ahmad al-Samarqandi (491 H)
4. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab Athraf.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj dan istidrak. Istikhraj adalah mengambil suatu hadis dari Bukhari dan muslim misalnya, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri. Contoh : kitabnya adalah Mustakhraj shahih Al Bukhari oleh hafidh al Jurjany, Mustakhraj shahih Muslim oleh Al hafidh Abu Awanah. Sedangkan istidrak yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Contohnya : kitab Al-mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj dan istidrak. Istikhraj adalah mengambil suatu hadis dari Bukhari dan muslim misalnya, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri. Contoh : kitabnya adalah Mustakhraj shahih Al Bukhari oleh hafidh al Jurjany, Mustakhraj shahih Muslim oleh Al hafidh Abu Awanah. Sedangkan istidrak yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Contohnya : kitab Al-mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy.
Tokoh-Tokoh
Hadist yang lahir para periode keenam ini antara lain ialah : Ibn Hibban, Ad-Daruquthny, Ath-Thabrany,
Al-Baihaqy, Ibn Athsir Al-Jazary dan lain-lain.
G. Periode ketujuh (656H – sekarang)
Setelah kota Baghdad
jatuh pada tahun 656 H ketangan bangsa tartar, maka pindahlah pemerintahan
Abbasiyyah ini ke Kairo Mesir, tapi Khalifahnya sebagai simbol saja, sementara
yang berkuasa pada hakekatnya adalah Raja Mesir dari Mamalik, pada abad VIIH,
bagian Barat (Maroko) dan sebagainya. Bahkan pada Abad pertengahan IXH, Turki
dijaman pemerintahan Ottoman (Dinasti Ustmaniyyah) dijadikan ibu kotanya,
kemudian menaklukkan Mesir dan melenyapkan Khalifah Abbasiyyah. Kemudian
Khalifah Islamiyyah dipindah ke Kostantinopel (Istanbul), dan sejak ini
Raja-Raja Mesir memakai gelar “Khalifah”. Negara Turki semakin kuat dan meluas,
tetapi sangat disayangkan pada waktu yang bersamaan pemerintahan Islam
diandalusia ( Spanyol) hancur. Dan padamlah cahaya Islam dinegeri itu yang
pernah meneranginya hampir VIII abad. Kemudian imperialis barat dengan politik
the vide et empera berhasil menaklukkan Daerah-Daerah/Negeri-Negeri Islam yang
menyebabkan kemunduran ummat Islam. Ummat Islam tidak dapat lagi melakukan
pengabdiannya kepada Agama dan masyarakat secara bebas, termasuk Ulama-Ulama
sukar mengadakan kontek Contact (komunikasi) dengan Ulama-Ulama didaerah lain.
Dengan situasi dan
kondisi seperti itu, menyebabkan para Ulama tidak bebas bergerak untuk
menyampaikan dan menerima ajaran-ajaran Nabi secara langsung dengan lisan antara
satu dengan yang lainnya. Karena itu penyampaian dan penerimaan Hadist-Hadist
dilakukan dengan jalan surat menyurat dan ijazah (memberi ijin kepada murid
untuk meriwayatkan Hadist-Hadist yang ditulis oleh seorang Guru dalam
kitabnya).
Ulama yang berbuat
demikian antara lain :
A. Jainuddin Al-Iraqy (Wafat 806H).
B. Ibn Hajar (wafat 852H).
C. As-Sakhawi muridnya ibn Hajar
2. MUNCULNYA HADIST PALSU
Kemunculan Hadits palsu dimulai bersamaan dengan terjadinya konflik
intern dalam kubu umat Islam. Orang-orang yang terlibat dalam pertikaian
konflik politik dalam kubu umat Islam itulah yang menjadi dalang dari
kemunculan hadits-hadits palsu. Pertikaian tersebut bermula semenjak
terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, yang mengakibatkan kondisi kesatuan umat
Islam menjadi kacau. Di kala itu, beberapa golongan yang merasa paling berhak
menjadi penguasa yang menggantikan khalifah ketiga tersebut saling bertikai
satu sama lain. Kondisi tersebut juga dimanfaatkan oleh para Yahudi yang
berusaha menyusup untuk menperunyam keadaan. Puncak dari munculnya hadits palsu
yaitu ketika terjadi konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi
Sufyan. Salah satu pihak saling memperkuat diri dengan menciptakan hadits palsu
yang isinya seakan-akan mendukung pihak tersebut dan menjatuhkan pihak yang
lain.
Pemicu munculnya hadits-hadits palsu tidak sebatas karena konflik
politik saja, melainkan ada
faktor-faktor lain. Namun para ulama’ ahli hadits tidak tinggal diam atas
munculnya peristiwa ini. Beberapa upaya dilakukan untuk mencegah hadits-hadits
tersebt menyebarluas dan mengembalikan ajaran agama Islam ke arah yang
sesungguhnya tanpa adanya unsur-unsur dusta dan ambisi belaka.
A. Pengertian Hadits Maudu’ (palsu)
Menurut bahasa maudu’ ialah :
1.
Yang
diletakkan, dibiarkan
2.
Menggugurkan
3.
Meninggalkan
4.
Berita
bohong yang dibuat-buat
Menurut ‘ulama hadits
الخبر
المختلع الموضوع اي ما يكون الطعن فيه بكذب الروي
Artinya : “ Hadits
yang dibuat-buat yakni hadits yang ada cacat padanya dengan sebab rawi yang pendusta
“
هو المختلع
الموضوع المنسوب الى رسول الله ﷺ زورا
وبهتانا سواء كان ذلك عمدا أوخطأ
Artinya : “ Hadits
yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaanya itu
dibangsakan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik hal ini disengaja
atau tidak “
B. Ciri-ciri Hadits Maudu’
Para
Muhadditsin menyebutkan menyebutkan dua cara untuk mengetahui hadits Maudu’,
yaitu :
1) Dari aspek sanad :
1. Pengakuan dari si pembuat sendiri
2. Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya
pengakuan membuat hadits maudu’, misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits
dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya
3. Qarinah-qarinah yang berpautan dengan
tingkah lakunya
2) Dari aspek hukum
1. Rusaknya makna karena berlawanan dengan
hal-hal yang sudah dipahami dan tak dapat pula kita takwilkan, dan lain-lain
2. Rakakah Makna, yaitu pada susunan lafadznya
sangat jelek
C. Motif-motif yang mendorong pemalsuan hadits
Diantara motif pemalsu hadits :
1) Mempertahankan ideologi golongannya sendiri
dan menyerang para lawannya
2) Karena kefanatikan dan kultus individu
terhadap imam madzhab mereka
3) Perbuatan kaum zindiq
4) Tukang-tukang cerita yang ingin menarik
perhatian pendengar
5) Mempertahankan Madzhab dalam masalah
khilafiyah Fiqhiyah dan Kalamiyah
3. UPAYA PENYELAMATAN HADIST DARI HADIST PALSU
Adapun usaha-usaha yang dilakukan
para ulama dalam rangka memelihara sunnah dan membersihkannya dari pemalsuan
hadits yaitu dengan :
a)
Mengisnadkan
Hadits
Setelah
terjadinya fitnah dikalangan umat Islam dan mulai bertebarannya hadits palsu,
maka para sahabat dan tabi’in mulai berhati-hati dalam menerima hadits dari
rawi-rawinya dengan cara meminta sanad kepada yang menyampaikan hadits tersebut
b)
Meningkatkan
perlawanan mencari hadits
Mereka
meningkatkan perlawanan mencari hadits dari suatu kota ke kota yang lain untuk
menemui para shahabat yang meriwayatkan hadits
c)
Mengambil
tindakan terhadap para pemalsu hadits
Dalam rangka
berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari mereka menumpas para pemalsu
hadits, melarang mereka meriwayatkannya dan menyerahkannya kepada penguasa
d)
Menjelaskan
tingkah laku rawi-rawinya
Untuk
kepentingan penyeleksian hadits, maka lalu membuat ketentuan-ketentuan untuk
menetapkan sifat-sifat rawi yang dapat diambil, ditulis atau diriwayatkan
hadits-haditsnya.
e)
Membuat
ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits yaitu shahih, hasan dan
dha’if
Selain
dengan mengumpulkan hadits-hadits shahih, untuk menjaga keaslian hadits-hadits
Nabawi dari tercampuraduknya dengan hadits maudhu’, dilakukan juga penghimpunan
hadits-hadits Maudhu’ tersebut menjadi sebuah kitab. Adapun karya-karya ulama’
hadits yang berisi tentang hadits Maudhu’ antara lain :
· Kitab Al-Maudhu’at, karya Imam
al-Hafidz abi al-Farj Abdurrahman ibn al-Jauziy. Merupakan buku pertama dan
terpopuler yang membahas tentang hadits palsu. Namun, karya ini juga menuai
banyak kritik akibat banyak hadits yang belum terbukti kepalsuannya, juga
karena beliau juga memasukkan hadits hasan bahkan hadits shahih ke dalam buku
ini.
· Kitab Al-La ali’ al-Mashnu’ah fi
al-Hadits al-Maudhu’ah, karya al-Hafidz Jalaluddin ash-Shuyuti. Merupakan
revisi dari karya al-Jauziy sebelumnya.
· Kitab Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah
‘an al-Hadits al-Syani’ah al-Maudhu’ah, karya al-Hafidz abi al-Hasan Ali bin
Muhammad bin Iraq al-Kanani. Kitab ini juga merupakan revisi dari kitab
al-Jauziy. Dalam kitab ini, merevisi tiga hal dalam kitab sebelumnya, yaitu :
hanya meletakkan hadits Maudhu’ yang disepakati oleh para ulama’ hadits
kemaudhu’annya, meletakkan secara khusus hadits-hadits Maudhu’ yang belum
disepakati kemaudhu’annya, serta menambahkan hadits-hadits Maudhu’ yang belum ada
pada kitab sebelumnya. Selain itu, dalam kitab ini juga mencantumkan nama
perawi yang menjadi pemalsu hadits.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1) Secara umum sejarah perkembangan hadits dapat dibagi dalam 7 periode, yaitu
2) Hadits palsu muncul setelah terjadi fitnah perpecahan di kalangan umat Islam kepada beberapa golongan, karena masing-masing golongan untuk mempertahankan ideologinya ada diantara pengikutnya berani membuat dan memalsukan hadits
3) Upaya penyelamatan ulama atas munculnya hadits-hadits palsu, diantaranya dengan mengklasifikan hadits menjadi shahih, hasan, dan dha’if; menjelaskan sifat-sifat para perawi, menindak para pemalsu hadits, dan mengumpulkan serta membukukan hadits-hadits shahih juga hadits-hadits maudu’
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abu Abd. Allah Muhammad
ibn Abd Allah Al-Naisaburi. T.th. Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis. Kairo :
Maktabah al-Matnabi.
2. Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. 2001. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
3. Ath-Thahhan, Mahmud. 1997. Taysir Mushtholah al-Hadits. Riyadh :
Maktabah al-Ma’arif.
4.
Aziz, Mahmud, Mahmud
Yunus. T.th. Ilmu Musthalah Hadits. Jakarta: PT. Jaya Murni.
5. Hanafiyah,
M. Muhri, Ulumul Hadits, STAI Darussalam Martapura, 2012.
6. Hanafiyah,
M. Muhri, Pengantar Study Sumber Hukum
Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Martapura. Banjarmasin. 2007
7. Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi
Ilmu Hadis. Semarang : RaSAIL Media Group.
8. Ichwan, Mohammad Nor. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Semarang :
Rasail Media Group.
9. Ismail, Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:Angkasa
Bandung.
10. Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah. Bandung : Bulan Bintang.
11. Saputra, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta : PT.RajaGrafindo
Persada.
12. Sholahudin, M, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung : CV.
Pustaka Setia.
[1]) Hanafiyah, M.
Muhari, Pengantar Study Sumber Hukum
Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Martapura. Banjarmasin. 2007
[2] Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad
Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatann Ilmu Sejarah. Bandung
: Bulan Bintang.
[3] Drs. H.
Hanafiyah, M. Hum dan Drs. H. Muhri, M. Ag, Ulumul Hadits, STAI Darussalam
Martapura, 2012.
[4] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar