” Sahabat Rasulullah Saw”
~Abdullah Bin Umar~
A.
Biografi
Abdullah bin Umar bin Khattab (bahasa Arab: عبد الله بن
عمربن الخطاب) atau sering disebut Abdullah
bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 - wafat 693/696 atau 72/73 H)
adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan
periwayat hadits yang terkenal.
Ia adalah anak dari Umar bin
Khattab, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang
kedua.Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya.
Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullah menolaknya.
Perang pertama yang diikutinya adalah Perang
Khandaq. Ia ikut berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut
pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu
Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam
penaklukan Mesir serta daerah
lainnya di Afrika.
Khalifah Utsman bin
Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat
sebagai hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian
kaum muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga
menolaknya. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia cenderung
menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat
itu telah menjadi penguasa Makkah.
b.keutamaan abdullah bin
umar
1. Periwayatan hadits
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua
setelah Abu Hurairah, yaitu
sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah
memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di
tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar".
Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula
dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah,
karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia
memberi fatwa pada musim haji, atau pada
kesempatan lainnya. Di antara para Tabi'in, yang paling
banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba sahayanya, Nafi'.
Beliau juga Salah seorang sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu dan
amal. Ia hijrah bersama ayahnya, Umar bin Khattab, dalam usia sepuluh tahun. Ia
juga ipar Rasulullah SAW karena saudari kandungnya yang bernama Hafsah binti
Umar adalah istri Rasulullah SAW. Ia tampil sebagai seorang terpelajar di
Madinah ketika kota tersebut bersama Basra memainkan peranan yang sangat
menonjol sebagai kota-kota pusat pemikiran dan intelektualisme Islam setelah
masa Nabi SAW. Ia mempelajari dan mendalami segi-segi ajaran Islam, khususnya
satu bidang yang
selama ini belum memperoleh perhatian yang serius, yaitu tradisi atau hadis Rasulullah SAW. Madinah, sebagai tempat tinggalnya, memberinya inspirasi dan kecenderungan alami untuk mendengarkan, mencatat, dan mempertimbangkan dengan
sangat kritis semua cerita dan anekdot tentang Nabi SAW yang dituturkan oleh penduduk Madinah. Oleh karena itu, ia bersama seorang sahabat lainnya, Abdullah bin Abbas, menjadi perintis paling awal yang membuka bidang kajian baru, yaitu
bidang hadis (tradisi) Nabi SAW, disamping menghafal Al-Qur’an secara sempurna.
selama ini belum memperoleh perhatian yang serius, yaitu tradisi atau hadis Rasulullah SAW. Madinah, sebagai tempat tinggalnya, memberinya inspirasi dan kecenderungan alami untuk mendengarkan, mencatat, dan mempertimbangkan dengan
sangat kritis semua cerita dan anekdot tentang Nabi SAW yang dituturkan oleh penduduk Madinah. Oleh karena itu, ia bersama seorang sahabat lainnya, Abdullah bin Abbas, menjadi perintis paling awal yang membuka bidang kajian baru, yaitu
bidang hadis (tradisi) Nabi SAW, disamping menghafal Al-Qur’an secara sempurna.
Dia
menerima hadis dari Nabi SAW sendiri dan para sahabat, misalnya Umar (ayahnya),
Zaid (pamannya), Hafsah (saudarinya), Abu Bakar as-Siddiq, Usman bin Affan, Ali
bin Abi Talib, Bilal bin Rabah, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud, Abu Zar, dan Mu’az bin
Jabal. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para sahabat, misalnya Jabir, Ibnu
Abbas, dan putra-putranya, dan oleh para tabiin, misalnya Nafi’, Said bin
Musayyab, Alqamah bin Waqqas al-Lais, Abdur Rahman bin Abi Laila, dan Urwah bin
Zubair. Selama 60 tahun setelah Nabi SAW wafat, ia memberi fatwa dan
meriwayatkan hadis, menghafal semua yang didengarnya dari Nabi SAW dan bertanya
kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi SAW perihal tutur dan
perbuatannya. Dengan begitu, ia dan Abdullah bin Abbas sering kali dipandang sebagai pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan Suni.
perbuatannya. Dengan begitu, ia dan Abdullah bin Abbas sering kali dipandang sebagai pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan Suni.
2.Menghindari Jabatan dan Antikekerasan
Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi,
sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai
adalah sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran berbagai
kelompok politik untuk menjadi khalifah.
Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn
Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka
berteriak di depan rumah Ibn Umar, "Anda adalah seorang pemimpin,
keluarlah agar kami minta orang-orang berbai’at kepada anda." Tapi Ibn
Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa janganlah ada walau darah
setetas tertumpah disebabkan daku." Massa di luar mengancam. "Anda
harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam
begitu, Umar tak tergerak. Massa pun bubar.
Sampai
suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn Umar
mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan.
Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman
pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara semacam itu.
Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah
menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas
menghardik Ibn Umar.
"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya
terhadap umat manusia, kecuali engkau."
"Kenapa? Demi Allah tak pernah aku
menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah dengan jamaah mereka apalagi
memecah-mecah persatuan mereka?" saut Ibn Umar heran.
"Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak
seorang pun akan menentang."
"Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang
mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."
Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin
tertinggi umat Islam ini. Meski demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan
orang dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa
kali menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan
tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari
pemimpinnya."
"Lantas apa yang kita lakukan terhadap
orang-orang masyriq?"
"Kita gempur mereka sampai mau
berbaiat."
"Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku
yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan
olehku."
Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan
melontarkan syair.
"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu
Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa." Abu
Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn Yazid.
Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin
netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu
diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata 'Marilah salat’,
akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju kebahagiaan’, akan kuturuti pula.
Tetapi siapa yang mengatakan 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas
hartanya’ aku katakan: tidak!"
Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan
amat sedih umat Islam berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah
satunya. Pernah, Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa
sepengetahuannya.
Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan
pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu
berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh
menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.
Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar
berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali
satu hal, aku amat menyesal tak mendampingi Ali memerangi golongan
pendurhaka." Tapi kemudian, Ibn Umar tak mampu menyetop peperangan,
sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang menggugatnya. Mengapa ia tak membela
Ali dan pengikutnya kalau ia merasa Ali di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar
menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah
Muslim." Lalu dibacanya Q.2:193, perangilah mereka itu hingga tak ada lagi
fitnah dan hingga orang-orang beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.
Ibn Umar melanjutkan, "Kita telah
melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik hingga agama itu semata bagi
Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai berperang
semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya,
hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan
memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha illallah"?
Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu
Umar, bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya
Abdullah bin Umar melarikan diri dari urusan kenegaraan karena sifatnya memang
senang menghindar dari ikut campur dalam urusan apapun, baik yang boleh maupun
yang terlarang. Wallahu’alam
3.Pujian dari Sahabat
Kesalehan
Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum
muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata:
" Tidak ada di antara kami disenangi oleh dunia dan dunia senang
kepadanya, kecuali Umar dan putranya
Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar
meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang
yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada
seorang pun yang sebanding dengan dia".
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan
kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah
wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat
dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling
akhir yang meninggal di kota Makkah.
C.Sejarah
Hidup Abdullah Bin Umar
Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15
tahun ke atas berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri.
Usianya saat itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya
selama ini: berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai medan
jihad tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota
Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di
medan perang. Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibn Umar.
"Penting sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari penduduk
Madinah. Yang paling kukhawatirkan ada tiga orang: Husain ibn Ali, Abdullah ibn
Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat kepada anaknya, Yazid,
yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota. Tiga orang itu telah menyatakan
penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.
"Adapun Husain ibn Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya.
Adapun Abdullah ibn Zubair, kalau kamu berhasil mengatasinya, kamu harus
menghancurkannya hingga berkeping-keping. Sedangkan Ibn Umar, orang ini
sebenarnya terlalu sibuk dengan urusan akhirat. Asal kamu tidak mengusik urusan
akhiratnya ini, maka ia akan membiarkan urusan duniamu."
Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin masa itu
sedang jaya-jayanya. Muncul daya tarik harta dan kedudukan membuat sebagian
orang tergoda memperolehnya. Maka para sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi
itu dengan mempertegas dirinya sebgai contoh gaya hidup zuhud dan salih,
menjauhi kedudukan tinggi.
Ibn Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk
beribadah, dan berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya.
Akan halnya soal salat malam ini, ada riwayatnya. Di masa hayat Rasulullah, Ibn
Umar mendapat karunia Allah. Setelah selesai salat bersama Rasulullah, ia
pulang, dan bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru.
Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain beledru itu akan menerbangkanku
ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke neraka, memperlihatkan semua bagian
yang ada di neraka. Keduanya menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan
neraka," begitulah diungkapkan Ibn Umar kepada saudarinya yang juga istri
Rasul, Hafshah, keesokan harinya.
Hafshah langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah
SAW bersabda, ni’marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili
fayuksiru, akan menjadi lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia
sering salat malam dan banyak melakukannya. Semenjak itulah, sampai
meninggalnya, Ibn Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik ketika mukim
atau bersafar. Ia demikian tekun menegakkan salat, membaca Al-Quran, dan banyak
berzikir menyebut asma Allah. Ia amat menyerupai ayahnya, Umar ibn Khatthab,
yang selalu mencucurkan airmata tatkala mendengar ayat-ayat peringatan dari
Al-Quran.
Soal ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi, "Suatu ketika kubacakan ayat
ini kepada Abdullah ibn Umar." 'Ubaid membacakan QS 4:41-42 yang artinya:
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami datangkan seseorang
saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai
saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan yang
mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka tidak dapat
menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun." Maka Ibn Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air
mata.
Pada
kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca QS
83:-6 yang maknanya: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam
takaran. Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan nanti
menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri menghadap
Tuhan semesta alam. Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam,
"yauma yaquumun naasu lirabbil 'alamiin", ketika manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam. Sembari air matanya bercucuran, sampai akhirnya
ia jatuh karena sekapan rasa duka mendalam dan banyak menangis.
Abdullah ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan
begitu mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila
ia mendnegar nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis. Ketika ia
lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik di Mekah maupun
di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas butiran air bening meluncur dari
sudut matanya.
Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena
mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya minat lagi
kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia remaja, ketika
pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.
Dermawan. Bagaimana mungkin Ibn Umar dikatakan
tak berhasrat pada dunia, sedang ia pedagang yang sukses? Bisa saja. Sebagai
pedagang ia berpenghasilan banyak karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia
menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun
disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang
buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.
Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai
baju dingin. Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi
melihat Ibn Umar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya dengan
berutang. Maka Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya. Bukankah Abu
Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar) menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai
baju dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli pakan hewan tunggangannya?
"Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagikannya. Mengenai baju
dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat kembali ia sudah
tak lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu,
Ibn Umar bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin," demikian jawab
keluarga Ibn Umar.
Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju
pasar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi dan berteriak. "Hai kaum
pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang
kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga
esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara berutang."
Kedermawanan Ibn Umar antara lain juga
ditunjukkan dengan sikap hanya memberi mereka yang fakir miskin. Ia pun jarang
makan sendirian. Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap diajaknya makan
bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri lantaran mengundang
jamuan makan untuk kalangan hartawan. "Kalian mengundang orang-orang yang
dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang kelaparan."
Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam
kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat santunnya, terutama
kepada fakir miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan miskin sudah duduk
menunggu di tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibn Umar, dengan harapan
mereka akan terlihat oleh Ibn Umar dan diajak ke rumahnya.
Hati-hati. Adalah Abdullah ibn Umar orangnya,
yang kalau dimintai fatwa enggan berijtihad. Karena takut berbuat kesalahan,
meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak berusia 13 tahun memberi satu
pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar ijtihadnya.
Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun menolak jabatan kadi atau kehakiman.
Padahal ini jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan,
jabatan yang juga "basah".
Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan
kadi, tapi Ibn Umar menolak. semakin Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin
tegas menolak.
"Apakah antum tak hendak menaati
perintahku?"
"Sama sekali tidak. Hanya, saya dengar
para hakim itu ada tiga macam: pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia
dalam neraka; kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan
ketiga, yang berijtihad sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan
berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama
Allah memohon kepada antum agar dibebaskan dari jabatan itu."
Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat,
Ibn Umar tak menyamnpaikan alasan penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika
seorang yang bertakwa lagi salih mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti
jejak Ibn Umar. Kalau sudah demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan
kadi yang takwa dan salih.
Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibn
Umar masih melihat di antara sahabat Rasulullah masih banyak yang salih dan
wara’ yang lebih pantas memegang jabatan itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan
itu takkan sampai berakibat jatuhnya posisi kadi ke tangan yang tak pantas
memegangnya.
Calon Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan
Islam sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq, adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar
ibn Khattab suatu ketika mendapat serangan mematikan dari Abu Lu’lu’ah. Dalam
keadaan terluka parah, sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran.
"Wahai Amirul Mu’minin, bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah
seorang wakil yang akan menggantikan engkau?"
"Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah
Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku akan tunjuk dia sebagai pengganti."
Salah satu sahabat berkata, "Saya akan menunjukkan nama pengganti itu.
Tunjuklah Abdullah ibn Umar."
"Demi Allah, engkau keliru. Aku tak
bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan itu. Apa yang kau harapkan dari
keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah dan dari keluargaku aku seorang
diri saja yang akan diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal
mengenai umat Muhamad saw ini."
Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali
lagi para sahabat menemui Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya.
Khalifah pun memberi nama-nama calon itu. "Hendaklah kamu berpegang teguh
kepada calon yang terdiri dari beberapa orang, dan orang yang kucalonkan ini
ialah beberapa orang yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau rela kepada
orang-orang ini, dan orang-orang ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk
surga. Mereka ialah Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash,
Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar."
Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi,
kata Umar, Ibn Umar hanya berhak memilih, tapi tidak berhak dipilih. Menurut
periwayat, Abdullah ibn Umar sampai mendorong terpilihnya Usman ibn Affan
dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki
kelebihan dan keistimewaan. Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami dari
dua anak perempuan Rasulullah SAW.
Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn
Affan, Abdullah ibn Umar kerap dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn
Umar memegang jabatan kadi yang kemudian ditolaknya dengan hujjah, alasan yang
kuat.
Syahid setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal
dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum
Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut ayahnya
berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di Madinah,
di masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh menjadi pusat pemikiran
Islam pasca masa Nabi SAW.
Kegairahan Abdullah seolah melengkapi
kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu Islam, karena ia mendalami
segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh perhatian serius. Yakni
tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut para periwayat, Abdullah mendapatkan
inspirasi luar biasa karena ia tinggal di Madinah, yakni tumbuhnya
kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi berbagai hal mengenai
Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi banyak diungkapkan
penduduk Madinah.
Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu
Hurairah dalam bidang hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua
terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal
Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi
SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.
Selama 60 tahun setelah
Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan menyangkut hadis yang
banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari Nabi atau bertanya
kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan
Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia juga saking
berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada Rasulullah,
kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi ajaran
sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama
Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan
sunni.
Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa
masa kekhalifahan, di antaranya ada masa-masa penuh pergolakan antar kelompok
Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah menjadi kasar dan
pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang
berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal kejam
dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di masjid itu.
Saat
itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan kesabaran
Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar
berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di mimbar, dan berkata, "Engkau
musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan Allah. Engkau meruntuhkan
rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali Allah." Al Hajjaj menyetop
pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?" Seseorang menjawab, itu
Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang
yang sudah pikun."
Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya,
diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah ibn Umar dengan pisau beracun. Si
pembantu berhasil menorehkan pisau beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang
lantas jatuh sakit.
Di pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam,
Ibn Umar tak menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah
ibn Umar tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.
Ibn
Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab
sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn
Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara’
dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman
ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar