Tugas Mandiri Dosen Pembimbing Sejarah Pendidikan Islam
Wahyudi
Rifani
Biografi Urwah Bin Zubair
Disusun Oleh :
Nama : Nurjairina
N.p.m : 13.12.3189
Sekolah Tinggi Agama Islam
Darussalam Martapura
Tahun Akademik 2013/2014
DAFTAR ISI
Cover …………………………………………………………………………….
Daftar isi ……………………………………………………………………........
1.
Nama lengkap dan Nasab lengkau Urwah Bin Zubair
………………….. 1
2.
Pujian para Ulama kepada Beliau ……………………………………….. 11
3.
Keilmuan , Ibadan dan Akhlak Beliau ………………………………….. 12
4.
Nasehat Emas Urwah ……………………………………………………. 16
5.
Wafatnya Beliau …………………………………………………………. 17
Daftar Pustaka……………………………………………………………………
1. Nama Lengkap dan
Nasab Beliau
Beliau adalah Abu
‘Abdillah ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil
‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani.
Beliau lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khalifah
al-Faruq, yaitu pada tahun 22 Hijriyah dan ada juga yang mengatakan bahwa
beliau lahir pada tahun 23 Hijriyah, dalam sebuah rumah yang paling mulia
dikalangan muslimin dan paling luhur martabatnya.
Adapun
ayahnya bernama Zubair bin Awam: “Hawariyu” (pembela) Rasulullah dan orang yang
pertama menghunus pedangnya dalam Islam serta termasuk salah satu diantara
sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Sedangkan ibunya bernama Asma binti Abu
Bakar Ash-Shidiq yang dijuluki dzatun nithoqoin (pemilik dua ikat pinggang).
Beliau adalah seorang tabi’in yang mulia, satu dari
Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (tujuh tokoh fuqaha’ /ulama) yang masyhur dalam sejarah
kaum muslimin, panutan umat, putra dari Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu
‘anhu, salah seorang As-Sabiqunal Awwalun (para shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang pertama-tama masuk Islam). Bersama dengan sembilan
shahabat yang lain, Hawari (penolong) Rasulullah ini telah mendapatkan kabar
gembira masuk ke dalam surga selagi mereka masih hidup di dunia.
Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq
radhiyallahu ‘anhuma, wanita mulia yang turut membantu persiapan ayahanda dan
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat hijrah ke kota Madinah. Bermula
dari sinilah beliau kemudian mendapatkan julukan Dzatun Nithaqain (yang
memiliki dua ikat pinggang). JAdi, manusia terbaik setelah Rasulullah -yakni
Abu Bakr Ash-Shiddiq- adalah kakek beliau dari jalur ibu.
Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair
radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang Al-’Abadilah Al-Arba’ah[1], dengan usia
yang terpaut 20 tahun.
Bibi beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bibi beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Yang paling mengetahui
hadits (yang diriwayatkan) ‘Aisyah adalah ‘Urwah, ‘Amrah, dan Al-Qasim. Qabishah
bin Dzu’aib mengatakan: ‘Urwah telah mengalahkan kami dalam masuknya beliau
(untuk meriwayatkan hadits) dari ‘Aisyah, dan ‘Aisyah adalah orang yang paling
berilmu.
Kakek
beliau dari jalur ibu adalah Abu Bakar Ash-Shidiq, khalifah Rasulullah SAW yang
menemani beliau di sebuah goa. Sedangkan nenek dari jalur ayahnya adalah
Shofiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah. Bibinya adalah Ummul
Mukminin, bahkan dengan tangan Urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang
lahat untuk meletakkan jenazah Ummul Mukminin.
Urwah
adalah saudara kandung Abdullah bin Zubair, tetapi tidak dengan Mus’ab karena
dia bukan berasal dari ibu yang satu. Maka siapa lagi kiranya yang lebih unggul
nasabnya dari beliau? Adakah kemuliaan diatasnya selain kemuliaan iman dan
kewibawaan Islam.
Suatu masa di zaman khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorangpun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh keyakinan.
Suatu masa di zaman khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorangpun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh keyakinan.
Tatkala
Amirul Mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus, beliau
mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin
meyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan
melayaninya dengan ramah.
Kemudian
datanglah ketetapan dan kehendak Allah, laksana angin kencang yang tak
dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk kandang kuda untuk melihat
kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras
hingga menyebabkan kematiannya.
Belum lagi tangan seorang ayah ini
bersih dari tangan penguburan puteranya, salah satu telapak kakinya terluka,
betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepat. Kemudian
bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk
mengobati tamunya dan memerintahkan untuk mengobati Urwah dengan cara apapun.
Namun
para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum
penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya. Jalan itu
harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk
menyayat daging dengan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada
Urwah: “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar anda tidak
merasakan sakitnya diamputasi”. Akan tetapi Urwah menolak: “Tidak perlu, aku
tidak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan). Tabib
berkata: “Kalau begitu kami akan membius anda!” Beliau menjawab: “Aku tidak mau
diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang
pahalanya disisi Allah.
Ketika
operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya:
“Apa yang hendak mereka lakukan? “ Lalu dijawab: “Mereka akan memegangi anda,
sebab bisa jadi anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakka kaki dan itu bisa
membahayakan anda. “Beliau berkata: “Cegahlah mereka, akan kubekali diriku
dengan dzikir dan tasbih”.
Mulailah
tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala telah sampai ke tulang, diambillah
gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan:
“Laa Ilaaha Illallah Allah Akbar”, sang tabib terus melakukan tugasnya dan
Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu. Setelah itu
dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan dibetis Urwah
bin Zubair untuk menghentikan pendarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan
untuk beberapa lama dan terhenti untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an di hari itu.
Inilah satu-satunya hari dimaa beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang
beliau jaga semenjak remajanya.
Ketika
Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya.
Dibolak-baliknya sambil berkata: “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk
membawamu di tengah malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah
menggunakannya untuk hal-hal yang haram”.
Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:
Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang meragukan
Tidak juga kakiku membawaku kepada kejahatan
Telinga dan pandangan mataku pun demikian
Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan telah menimpa orang lain sebelumku.
Kejadian tersebut membuat Amirul Mukminin, al-Walid bin Abdul
Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya.
Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang
menimpanya tersebut.
Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai
keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya: “Janganlah kalian risaukan apa yang
kalian lihat. Allah telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak
mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai
empat kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur
bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya
untuk-ku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih
banyak dan lebih lama darinya.”
Demi melihat kedatangan dan keadaan
imam dan gurunya, maka penduduka Madinah segera datang berbondong-bondong ke
rumahnya untuk menghiburnya. Urwah hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh
dengan kebaikan, kebaktian dan diliputi Dengan ketaqwaan. Ketika dirasa ajalnya
sudah dekat dan dia dalam keadaan shaum (puasa) keluarganya mendesak agar
beliau mau makan, tetapi beliau menolak keras karena ingin berbuka disisi Allah
dengan minuman dari telaga Al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak
oleh para bidadari cantik di Jannah. Beliau wafat di desanya yang bernama
fur’un yaitu di daerah yang bernama Robdzah, jarak daerah ini dengan kota
Madinah adalah perjalanan empat malam, daerah ini dipenuhi dengan pohon kurma
dan air. Beliau wafat pada tahun 93 Hijriyah atau ada yang mengatakan 94
Hijriyah.
Pagi itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya keemasan di
atas Baitul Haram, menyapa ramah pelatarannya yang suci. Di Baitullah,
sekelompok sisa-sisa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
tokoh-tokoh tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan tahlil dan
takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan doa-doa yang shalih.
Mereka membentuk halaqah-halaqah, berkelompok-kelompok di
sekeliling Ka’bah agung yang tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan
kemegahan dan keagungannya. Mereka memanjakan pandangan matanya dengan keindahannya
yang menakjubkan dan berbagi cerita di antara mereka, tanpa senda gurau yang
mengandung dosa. Di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan
rupawan, berasal dari keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian
dari perhiasan masjid, bersih pakaiannya dan menyatu hatinya. Keempat remaja
itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mush’ab bin Zubair,
saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair dan satu
lagi Abdul Malik bin Marwan.
Pembiacaraan mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara
mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang
didambakannya. Maka khayalan mereka melambung tinggi ke alam luas dan cita-cita
mereka berputar mengitari taman hasrat mereka yang subur.
Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara: “Cita-citaku adalah
menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.”
Saudaranya, Mus’ab menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat
menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.”
Giliran Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah
merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai
seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”
Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun.
Semua mendekati dan bertanya, “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai
Urwah?” Beliau berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi
semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim [orang berilmu
yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang
kitab Rabb-nya, sunah Nabi-Nya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku
berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah Subhanahu
wa Ta’ala.”
Hari-hari berganti serasa cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at
menjadi khalifah menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang telah meninggal. Dia
menjadi hakim atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan, dan Irak yang pada akhirnya
terbunuh di Ka’bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-cita dahulu. Sedangkan
Mus’ab bin Zubair telah mengauasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan
akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Adapun Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah
terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur
di tangan pasukannya. Akhirnya, dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada
masanya. Demi merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah
yang diutarakan di sisi Ka’bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam
usahanya mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa
para shahabat Rasulullah yang masih hidup.
Beliau mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang
mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Beliau meriyawatkan hadis dari Ali
bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari,
Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin
Basyir dan banyak pula mengambil dari bibinya, Aisyah Ummjul Mukminin. Pada
gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi satu di antara fuqaha
sab’ah (tujuh ahli fikih) Madinah yang menjadi sandaran kaum
muslimin dalam urusan agama.
Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepada
beliau baik tentang urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah
berikan kepada beliau. Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika
beliau diangkat sebagai gubernur di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik,
orang-orang pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.
Usai shalat zuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha
Madinah yang dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut
telah berada di sisinya, maka beliau melapangkan majlis bagi mereka serta
memuliakannya. Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata,
“Saya mengundang Anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana
saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin
memutuskan suatu masalah kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau
seorang yang hadir di antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu
orang lain atau pejabat yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus
agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya
keberuntungan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa
bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan
seperempat Alquran setiap siang dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam
membaca ayat-ayat Alquran dengan hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal
itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika
peristiwa mengharukan yang sebentar lagi akan kami beritakan kepada Anda.
Dengan menunaikan shalat, Urwah memperolah ketenangan jiwa,
kesejukan pandangan dan surga di dunia. Beliau tunaikan sebagus mungkin, beliau
tekuni rukun-rukunnya secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat
mungkin.
Telah diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang
menunaikan shalat secepat kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut
dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari
Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah, aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu
sampai dalam urusan garam.”
Urwah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu
adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti
kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di
Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya
yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya
dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak
dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu
sebagai jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.
Begitulah, orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan
lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan
keinginannya. Setiap memasuki kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا
قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu
memasuki kebunmu “maasyaa allah, laa quwwata illaa billah (sungguh atas
kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan
Allah).” (QS. Al-Kahfi: 39)
Suatu masa di zaman khilafah al-Walid bin Abdul Malik, Allah
berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorang pun mampu
bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh
dengan keyakinan.
Tatkala amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke
Damaskus. Beliau mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya.
Amirul Mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh
hormat dan melayaninya dengan ramah.
Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani
Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid
menanyakan sebab musabab kebutaannya. Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin,
dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta
dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di suatu lembah di
tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis
seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seekor onta
yang lari dari saya. Maka saya taruh bayi yang saya bawa di atas tanah lalu
saya kejar onta tadi. Belum seberapa juh, saya mendengar jerit tangis bayi itu.
Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala, dia telah
memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu
sudah habis dilalapnya. Lalu serigala tersebut lari dengan kencangnya. Akhirnya
saya kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendakat
dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya.
Demikianlah, saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam
sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan. Kemudian al-Walid
berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu
mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih
ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”
Demi melihat kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk
Madinah segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.
Yang paling baik di antara ungkapan teman-teman Urwah adalah dari
Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah: “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian
dari tubuhmu dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain
akan segera menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala meninggalkan engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan
memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu
dan juga kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wali
bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjadim kebagusan hisab untukmu.”
Urwah bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin.
Menjadi penunjuk jalan kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian
beliau yang paling besar adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan
generasi Islam secara umum. Beliau tidak suka menyia-nyiakan waktu dan
kesempatan untuk memberikan petunjuk dan selalu mencurahkan nasihat demi
kebaikan mereka.
Tak bosan-bosannya beliau memberikan motivasi kepada para putranya
untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Beliau berakata, “Wahai
putra-putriku, tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena,
kalaupun hari ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut
Allah menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan:
“Sungguh menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua
yang bodoh?”
Beliau anjurkan pula kepada mereka untuk memperbanyak sedekah,
sedangkan sedekah adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Beliau berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian
menghadiahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan apa yang
kalian merasa malu menghadiahkannya kepada para pemimpin kalian, sebab Allah Subhanahu
wa Ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan
diutamakan.”
Beliau senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu
masalah dari sisi hakikatnya. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, jika engkau
melihat kebaikan pada seseorang maka akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan
banyak orang dia adalah orang jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah
ada kelanjutannya. Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka
hati-hatilah dalam bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah
orang yang baik. Sebab setiap perbuatan ada kesinambungannya. Jadi camkanlah,
kebaikan akan melahirkan kebaikan setelahnya dan kejahatan menyebabkan
timbulnya kejahatan berikutnya.”
Beliau juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang
baik dan berwajah ramah. Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, tertulis di
dalam hikmah, “Jadikanlah tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab
hal itu lebih disukai orang daripada suatu pemberian.”
Jika beliau melihat seseorang condong pada kemewahan dan
mengutamakan kenikmatan, diingatkannya betapa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam selalu membiasakan diri untuk hidup sederhana.
Sebagai contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin
al-Munkadir, “Aku bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku
sambil berkata, “Wahai Abu Abdillah.” Aku jawab, “Labbaik.”
Urwah berkata, “Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah, lalu beliau
berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, ada kalanya selama 40 hari tak ada api
menyala di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
lampu ataupun memasak.” Maka aku bertanya, “Bagaimana Anda berdua hidup pada
waktu itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma dan air.”
2. Pujian Para Ulama kepada Beliau.
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Shu’air
(’Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air Al-Mazini) tentang suatu permasalahan
dalam bidang fiqih. Namun dia menyuruhku untuk bertanya kepada Sa’id bin
Al-Musayyib. Maka akupun belajar kepada Sa’id selama 7 tahun dan belum pernah
aku menjumpai orang yang paling ‘alim selain dia. Kemudian aku belajar kepada
‘Urwah maka aku mendapatkan pancaran ilmu yang deras sekali darinya. Aku
melihat bahwa beliau adalah lautan ilmu yang tidak akan habis terkuras airnya.
Abdurrahman bin Humaid bin Abdirrahman berkata: Aku masuk ke dalam
sebuah masjid bersama ayahku. Maka aku melihat manusia sedang berkumpul kepada
seseorang. Ayahku berkata: Coba lihat siapa dia! Maka akupun mendekatinya
ternyata dia adalah ‘Urwah bin Az-Zubair. Aku pun menceritakannya dengan
perasaan kagum kepada ayahku. Ayahku kemudian berkata: Wahai anakku, jangan
engkau merasa heran. Sungguh aku telah melihat para shahabat Rasulullah
bertanya kepadanya.
Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata: ‘Urwah bin Az-Zubair adalah
seorang tabi’in yang tsiqah (terpercaya), seorang yang shalih, dan tidak pernah
fitnah menimpanya sedikitpun.
Muhammad bin Sa’d berkata: ‘Urwah adalah seorang yang terpercaya, kuat dalam ilmu, amanah, banyak haditsnya, faqih, dan alim.
Muhammad bin Sa’d berkata: ‘Urwah adalah seorang yang terpercaya, kuat dalam ilmu, amanah, banyak haditsnya, faqih, dan alim.
Hisyam
bin ‘Urwah berkata: Ilmu itu adalah pada salah satu dari tiga keadaan: Yang
pertama adalah seorang yang memiliki keturunan yang mulia maka dengan ilmu akan
semakin memperindahnya, yang kedua adalah seorang yang ‘alim yang dengan
ilmunya dia memimpin agamanya, dan yang ketiga adalah seorang yang akrab dengan
penguasa yang dengannya banyak mendapatkan kenikmatan, dan dengan ilmu yang
dimilikinya dia dapat melepaskan dari hal tersebut sehingga dia terlepas dari
kebinasaan. Dan aku tidak mendapati seorangpun yang terpenuhi padanya tiga
keadaan ini selain pada ‘Urwah bin Az-Zubair dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.Beliau
juga berkata: Aku belum pernah mendengar seorangpun dari kalangan ahlul bid’ah
menyebutkan tentang ayahku (’Urwah) dengan kejelekan.
Al-Waqidi berkata: Beliau adalah seorang yang faqih, alim, hafizh, kokoh dalam ilmu, sebagai hujjah,dan alim dalam bidang sejarah.
Al-Waqidi berkata: Beliau adalah seorang yang faqih, alim, hafizh, kokoh dalam ilmu, sebagai hujjah,dan alim dalam bidang sejarah.
3. Keilmuan, Ibadah dan
Akhlak Beliau
Beliau sempat
meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun hanya sedikit. Dan juga meriwayatkan
hadits dari Sa’id bin Zaid, ‘Ali bin Abi Thalib, Jabir, Al-Hasan, Al-Husain,
Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub
Al-Anshari, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Mu’awiyah, ‘Amr bin
Al-’Ash, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Hakim bin Hizam, ‘Abdullah bin ‘Umar,
dan yang lainnya.
Beliau pun juga menimba
ilmu dari para shahabiyah di antaranya Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq
-ibunya sendiri-, ‘Aisyah Ummul Mu’minin -bibi beliau-, Asma’ binti ‘Umais,
Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ummu Hani’, Ummu Syarik, Fathimah bintu Qais,
Dhuba’ah bintu Az-Zubair, Busrah bintu Shafwan, Zainab bintu Abi Salamah,
‘Amrah Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anhunna ajma’in.
Para ulama yang berguru
dan meriwayatkan hadits dari beliau adalah Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin
‘Abdirrahman, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu Az-Zinad, Shalih bin Kaisan, Ja’far
Ash-Shadiq, Ibnu Abi Mulaikah, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ‘Atha bin
Abi Rabah, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin Abi Katsir, dan
sejumlah ulama yang lain.
Beliau adalah orang
pertama yang menulis tentang masalah Al-Maghazi (peperangan) dan yang paling
banyak melantunkan syair pada zamannya.
Beliau adalah salah
seorang di antara sepuluh ulama di kota Madinah yang selalu menjadi rujukan
khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz sewaktu beliau menjabat sebagai gubernur di
kota tersebut.Qabishah bin Dzu’aib menceritakan sebuah kisah:
Dahulu semasa khalifah Mu’awiyah, kami yaitu aku,
Mush’ab bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair, Abu Bakar bin ‘Abdirrahman, ‘Abdul
Malik bin Marwan, ‘Abdurrahman Al-Miswar, Ibrahim bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf dan
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah biasa berkumpul membuat halaqah setiap
malam di masjid. Dan pada siang harinya kami berpisah. Maka aku belajar kepada
Zaid bin Tsabit -waktu itu beliau ditunjuk sebagai ketua dalam bidang
kehakiman, fatwa, qira’ah dan fara’idh sejak masa khalifah ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali di kota Madinah-. Kemudian aku dan Abu Bakar bin ‘Abdirrahman belajar
kepada Abu Hurairah. Dan ‘Urwah telah mendahului kami dalam belajar kepada
‘Aisyah. Abu Az-Zinad menceritakan:
Dahulu pernah berkumpul di Al-Hijr (yakni Hijr Isma’il di Ka’bah) Mush’ab bin Az-Zubair, ‘Abdullah bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair dan Ibnu ‘Umar. Mereka mengatakan: Mari kita berangan-angan!
‘Abdullah bin Az-Zubair berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang khalifah.
‘Urwah berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang yang alim. Mush’ab berkata: Adapun aku, aku ingin menjadi pemimpin Iraq dan menikahi ‘Aisyah bintu Thalhah dan Sukainah bintu Al-Husain.
Dahulu pernah berkumpul di Al-Hijr (yakni Hijr Isma’il di Ka’bah) Mush’ab bin Az-Zubair, ‘Abdullah bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair dan Ibnu ‘Umar. Mereka mengatakan: Mari kita berangan-angan!
‘Abdullah bin Az-Zubair berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang khalifah.
‘Urwah berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang yang alim. Mush’ab berkata: Adapun aku, aku ingin menjadi pemimpin Iraq dan menikahi ‘Aisyah bintu Thalhah dan Sukainah bintu Al-Husain.
Adapun Ibnu ‘Umar,
beliau berkata: Kalau aku hanya menginginkan ampunan dari Allah ‘azza wajalla. Maka
mereka semua telah berhasil menggapai cita-citanya masing-masing dan adapun Ibnu
‘Umar semoga Allah mengampuninya. Suatu ketika ‘Urwah melihat seorang laki-laki
melakukan shalat dengan cepat kemudian setelah selesai shalat dia berdo’a.
‘Urwah berkata: Wahai saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada
Rabb-mu dalam shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Allah sampaipun
aku meminta garam.
Dahulu kebiasaan beliau setiap kali memasuki kebun, selalu membaca surat Al-Kahfi ayat 39 dan diulang-ulanginya bacaan tersebut: ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله إن ترن أنا أقل منك مالا وولدا.
Dahulu kebiasaan beliau setiap kali memasuki kebun, selalu membaca surat Al-Kahfi ayat 39 dan diulang-ulanginya bacaan tersebut: ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله إن ترن أنا أقل منك مالا وولدا.
Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki
kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah
semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). sekiranya
kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al Kahfi:
39). sampai beliau keluar darinya. Kebiasaan
beliau dalam setiap harinya adalah membaca seperempat Al-Qur’an. Kemudian
seperempat Al-Qur’an yang beliau baca pada siang harinya tersebut, dibaca dalam
shalat malamnya. Dan tidak pernah sekalipun beliau meninggalkan kebiasaan ini
kecuali pada malam diamputasinya kaki beliau.
Tentang sebab dan
peristiwa diamputasinya kaki beliau ini juga menjadi kisah tersendiri yang
dapat menyentuh kalbu setiap insan mu’min sekaligus menunjukkan kepada kita
bukti sebuah kesabaran luar biasa di dalam menghadapi suatu musibah besar yang
telah ditunjukkan oleh seorang hamba Allah yang mu’min yang mungkin tiada lagi
didapati kesabaran yang seperti itu apalagi di zaman sekarang ini.
Suatu ketika ‘Urwah bin
Az-Zubair mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di
ibukota kekhalifahan yaitu Damaskus di negeri Syam. Maka keluarlah beliau
beserta rombongan menuju kota Damaskus. Setibanya di suatu tempat yang masih
dekat dengan kota Madinah yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura, terjadi pada
beliau semacam luka di telapak kakinya yang kiri. Lambat laun luka tersebut
mengeluarkan nanah dan semakin bertambah parah. Waktu berlalu, dan luka
tersebut tidak saja semakin bertambah parah namun juga menyebabkan kakinya
busuk serta semakin menjalar menggerogoti kakinya.
Dan akhirnya sampailah beliau kepada khalifah Al-Walid di kota Damaskus dalam keadaan ditandu dan penyakit tersebut telah menjalar sampai setengah betis.
Dan akhirnya sampailah beliau kepada khalifah Al-Walid di kota Damaskus dalam keadaan ditandu dan penyakit tersebut telah menjalar sampai setengah betis.
Begitu mengetahui
keadaan yang menimpa ‘Urwah, khalifah Al-Walid segera memanggil para dokter
ternama di kota tersebut untuk mengobati penyakit beliau. Maka terkumpullah
para dokter dan segera memeriksa penyakit yang beliau derita tersebut. Setelah
memeriksa dan mendiagnosa jenis penyakit yang menimpa beliau, sampailah mereka
pada keputusan bahwa kaki beliau harus secepatnya diamputasi. Sebab kalau
tidak, penyakitnya akan terus menjalar ke pangkal paha dan seterusnya ke arah
anggota badan yang lain, dalam keadaan penyakit tersebut sekarang telah
menggerogoti sampai mencapai setengah paha kirinya.
Disampaikanlah keputusan
tersebut kepada beliau dan ternyata beliau bisa menerimanya dengan tabah. Maka
dimulailah persiapan untuk operasi pemotongan kaki beliau. Kemudian para dokter
tersebut menawarkan obat bius kepada beliau agar nantinya tidak merasakan sakit
ketika kakinya digergaji. Namun beliau menolak tawaran tersebut seraya
mengatakan: “Aku tidak pernah menyangka terhadap seorang yang beriman kepada
Allah bahwa dia akan minum suatu obat yang akan membuat hilang akalnya sehingga
dia tidak mengenal Rabbnya. Akan tetapi kalau kalian mau memotongnya silakan,
dan aku akan berusaha menahan rasa sakitnya.”
Dalam sebuah riwayat
dikisahkan bahwa tatkala beliau menolak tawaran para dokter tersebut, beliau
mengatakan: “Akan tetapi jika memang kalian mau memotongnya silakan lakukan
saja dan biarkanlah diriku dalam keadaan shalat agar aku tidak merasakan sakit
dan pedihnya. Maka dimulailah operasi pemotongan kaki beliau yang sebelah kiri
dengan gergaji pada bagian atas sedikit dari kaki yang tidak terkena penyakit.
Sewaktu proses amputasi tersebut sedang berlangsung, beliau tidak bergeming
atau bergerak sama sekali dan juga tidak terdengar rintihan rasa sakit
sedikitpun. Maka ketika telah selesai dari proses pemotongan kaki dan juga
telah selesai dari shalatnya, datanglah khalifah Al-Walid menghibur beliau. Dan
berkatalah ‘Urwah kepada dirinya sendiri: “Ya Allah, segala puji hanya
untuk-Mu, dahulu aku memiliki empat anggota tubuh (dua kaki dan dua tangan),
kemudian Engkau ambil satu. Walaupun Engkau telah mengambil anggota tubuhku
namun Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan
musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Segala puji
hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil dan atas apa yang telah Engkau
berikan kepadaku dari masa sehat. Al-Walid berkata: “Belum pernah sekali pun
aku melihat seorang syaikh yang kesabarannya seperti dia.” Dan tatkala
diperlihatkan potongan kaki tersebut kepadanya, beliau mengatakan: “Ya Allah,
sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwasanya tidak pernah sekalipun aku
melangkahkan kakiku ke arah kemaksiatan.”
Dan pada malam itu juga bersamaan
dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, beliau mendapatkan kabar bahwa
salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya-
meninggal dunia karena ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam
kandang kuda. Maka berkatalah beliau kepada dirinya sendiri: “Segala puji hanya
milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak kemudian Engkau ambil satu
dan Engkau masih menyisakan enam. Maka walaupun Engkau telah memberikan musibah
kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Dan walaupun Engkau
telah mengambil salah seorang anakku maka sesungguhnya Engkau masih menyisakan
yang lain. Selama menunggu proses penyembuhan kakinya, beliau tinggal di
kediaman khalifah selama beberapa hari sekaligus sambil menyelesaikan keperluan
yang lain.
Kemudian setelah dirasa telah sembuh dan semua
urusan telah selesai, kembalilah rombongan ke kota Madinah. Selama dalam
perjalanan pulang, tidak pernah terdengar sepatah kata pun lisan beliau
menyebut-nyebut tentang musibah yang menimpa kakinya dan kematian yang menimpa
putra kesayangannya. Dan juga tidak terlihat beliau mengeluhkan musibah yang
menimpanya kepada orang lain.
Dan ketika rombongan
telah sampai di tempat yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura -awal mula terjadinya
musibah pada kaki beliau tersebut-, beliau membaca ayat pada surat Al Kahfi
ayat 62: فلما جاوزا قال لفتاه آتنا غداءنا لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا.“Maka
tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah
kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini”. (Al-Kahfi: 62)
Akhirnya sampailah rombongan di kota Madinah. Ketika mulai memasuki gerbang kota, manusia berduyun-duyun memberikan ucapan salam dan menghibur beliau atas musibah yangbeliau alami.
Akhirnya sampailah rombongan di kota Madinah. Ketika mulai memasuki gerbang kota, manusia berduyun-duyun memberikan ucapan salam dan menghibur beliau atas musibah yangbeliau alami.
4.Nasehat
Emas Urwah
Di antara nasihat emas beliau
adalah sebagai berikut:
1. Nasehat beliau kepada
para pemuda: “Ada apa dengan kalian ini, kenapa kalian tidak
menuntut ilmu. Kalau sekarang ini kalian masih kecil,
niscaya nantinya kalian akan menjadi parapembesar di kaum kalian. Dan tidak ada
kebaikan pada seorang yang sudah tua sementara ia adalah seorang yang bodoh.
Sungguh aku telah melihat pada diriku sendiri selang 4 tahun sebelum
meninggalnya ‘Aisyah yaitu aku berkata pada diriku sendiri: Kalau seandainya
dia (’Aisyah) meninggal pada hari ini maka tidaklah aku menyesali dan bersedih
terhadap hadits (ilmu) yang ada pada dirinya disebabkan aku telah mengambil
semuanya. Dan sungguh telah sampai kepadaku adanya sebuah hadits dari salah
seorang shahabat maka akupun berusaha untuk mendatanginya. Maka ternyata aku
dapati majelisnya telah selesai, akupun pergi ke rumahnya dan duduk di depan
pintu rumahnya kemudian aku bertanya kepadanya tentang hadits tersebut.”.
2. Beliau juga pernah
mengatakan: “Tidaklah pernah aku menyampaikan sebuah ilmu kepada seseorang yang
akal sehatnya belum bisa untuk mencernanya, disebabkan yang demikian itu akan
menyesatkannya.”
5.Wafat
Beliau
pada tahun 93 Hijriyah dalam usianya yang ke-70 tahun
dalam keadaan sedang berpuasa. Hisyam bin ‘Urwah mengatakan: Dahulu ayahku
berpuasa terus-menerus (banyak berpuasa) dan meninggal dalam keadaan berpuasa.
Namanya harum dan senantiasa dikenang sepanjang masa sebagai seorang insan yang
sabar dan tabah di dalam menghadapi musibah yang sangat berat. Semoga Allah
subhanahu wata’ala merahmati beliau.
DAFTAR
PUSTAKA
1.Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tadzkiratul Huffazh
4. Tahdzibut Tahdzib
5. Basya’ir Al-Farh bi Taqribi Fawa’idi Al-Imam Al-Wadi’i fi ‘Ilmi Ar-Rijal Wal Mushthalah.
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tadzkiratul Huffazh
4. Tahdzibut Tahdzib
5. Basya’ir Al-Farh bi Taqribi Fawa’idi Al-Imam Al-Wadi’i fi ‘Ilmi Ar-Rijal Wal Mushthalah.
mumtaz
BalasHapus